Rehabilitasi Lahan Pasca Tambang dalam Memulihkan Ekosistem
Pendahuluan
Negara kita, Indonesia, kaya akan sumber daya alam, terutama potensi mineral dan batubara yang melimpah. Namun, eksploitasi sumber daya ini seringkali menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Di sisi lain, pertambangan menjadi motor penggerak ekonomi dan pembangunan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas mengatur bahwa setiap aktivitas manusia, termasuk pertambangan, harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Kenyataannya, masih banyak praktik pertambangan yang tidak sesuai dengan regulasi yang ada (Zhafran, M. F., et al., 2023).
Indonesia masih menghadapi masalah serius terkait pengelolaan pasca tambang, terutama ditandai dengan jumlah lubang tambang yang belum direklamasi, khususnya di Kalimantan Selatan. Kondisi ini menyebabkan kerusakan lingkungan yang meluas, mengancam keselamatan masyarakat, dan menghilangkan potensi lahan produktif. Aktivitas pertambangan berdampak negatif, seperti degradasi lahan. Pencemaran lingkungan akibat pertambangan dapat berupa pencemaran tanah, air, dan udara. Paparan terhadap polutan dari aktivitas pertambangan dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan pada masyarakat sekitar, seperti gangguan pernapasan dan kulit (Wibisono, K., & Reykasari, Y., 2024).
Oleh karena itu, diperlukan untuk melakukan reklamasi lahan pasca tambang. Reklamasi merupakan upaya untuk memulihkan kembali fungsi lingkungan yang rusak akibat kegiatan pertambangan. Dengan melakukan reklamasi, diharapkan dapat meminimalkan dampak negatif pertambangan. Essay ini akan membahas kendala yang sering dihadapi serta studi kasus untuk mengidentifikasi proses dan tahapan rehabilitasi lahan pasca tambang.
Isi
Kendala dari Rehabilitasi Lahan Pasca Tambang dalam Memulihkan Ekosistem
Pengawasan terhadap reklamasi pasca tambang di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala. Meskipun regulasi sudah mengatur pengawasan melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), pelaksanaannya sering kali kurang efektif. Penyebab utama masalah ini meliputi keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran, serta kurangnya kejelasan dalam pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah, yang menyulitkan koordinasi. Sanksi terhadap perusahaan tambang yang melanggar aturan sering kali tidak memberikan efek jera. Keberhasilan rehabilitasi lahan pasca tambang juga bergantung pada kualitas sumber daya manusia dan manajemen yang terlibat. Perusahaan harus memastikan tim reklamasi memiliki kompetensi teknis di bidang rehabilitasi lingkungan, agronomi, dan manajemen lahan. Teknologi seperti drone dan citra satelit dapat digunakan untuk meningkatkan pengawasan secara real-time, sehingga mempermudah pemantauan kemajuan reklamasi. Namun, kesenjangan antara regulasi dan implementasi di lapangan menunjukkan perlunya reformasi dalam pengawasan dan tanggung jawab perusahaan, agar reklamasi benar-benar dapat memulihkan ekosistem (Pattynama, F. M., 2024).
Studi Kasus
Studi kasus pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dari penelitian Syahrudin, H. (2021), mengungkap tujuan dari reklamasi lahan pasca tambang di Kepulauan Bangka Belitung adalah untuk mengubah area yang rusak menjadi lahan produktif yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Data Biro Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2014 menunjukkan bahwa luas lahan kritis di provinsi tersebut hampir mencapai 2 juta hektar. PT. Timah Tbk, sebagai perusahaan tambang terbesar di daerah tersebut, telah melakukan reklamasi revegetasi pada lahan bekas tambang mereka dengan menanam berbagai jenis tanaman, baik yang cepat tumbuh maupun tanaman lokal. Sementara itu, upaya dari PT. Refined Bangka Tin dan PT. Bumi Hero Perkasa juga telah melakukan reklamasi dengan metode yang serupa. Meskipun demikian, berdasarkan data yang ada, baru sebagian kecil dari total luas lahan IUP yang telah direklamasi. Hal ini menunjukkan bahwa upaya reklamasi yang dilakukan selama ini belum sebanding dengan luas lahan yang rusak akibat aktivitas pertambangan. Padahal, sektor pertambangan, khususnya timah, telah memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah.
Kesimpulan