Lihat ke Halaman Asli

Manis di Balik Bayangan

Diperbarui: 22 Oktober 2024   10:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Manis di Balik Bayangan

Fio terduduk di tepi tempat tidur rumah sakit, menatap wajah pucat adiknya, Adel, yang terbaring lemah dengan selang infus menggantung di sampingnya. Kanker yang merenggut kebahagiaan masa kecil mereka kini hampir merenggut nyawa Adel. Biaya pengobatan kian menumpuk, sementara pekerjaan Fio sebagai pelayan kafe hanya cukup untuk menyambung hidup sehari-hari. Seiring dengan rasa lelah yang kian menyelimuti, pikirannya terus berputar mencari jalan keluar.

"Kak, jangan khawatirkan aku. Nanti juga semuanya akan baik-baik saja," bisik Adel dengan senyum kecil, meski Fio tahu adiknya sedang kesakitan.

Mata Fio memerah. Air mata yang berusaha ia tahan akhirnya jatuh juga. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada menyaksikan adiknya menderita tanpa bisa berbuat banyak. Setiap hari Fio berjuang, bukan hanya di sekolah, tetapi juga bekerja, namun hasilnya selalu tidak cukup.

Setelah memastikan Adel tertidur, Fio melangkah gontai keluar dari rumah sakit. Pikiran Fio penuh kekhawatiran; bagaimana dia bisa membayar biaya pengobatan yang sangat besar ini? Uang sewa rumah hampir jatuh tempo, dan mereka bahkan tak punya makanan untuk beberapa hari ke depan.

Saat melangkah di lorong rumah sakit, dia tidak sengaja menabrak seorang pria tinggi berjas rapi. Tatapan dingin pria itu menyapu dirinya dari atas ke bawah, menilai. Pria itu, Fero, adalah seorang pengusaha kaya yang sering muncul di majalah-majalah bisnis. Wajahnya tampan namun dingin, penuh kesombongan.

"Kamu terlihat butuh bantuan," katanya tanpa basa-basi.

Fio hanya menunduk, merasa malu dengan penampilannya yang lusuh.

"Apa yang kamu inginkan?" tanya Fero dengan senyum tipis, seperti sudah tahu jawabannya. Dia mengeluarkan kartu nama dari saku jasnya. "Kalau kamu butuh uang, aku bisa membantumu. Tentu saja, ada imbalannya."

Fio terpaku, menatap kartu nama yang ditawarkan Fero. Tawaran itu menggiurkan, terutama dengan kondisi yang ia hadapi saat ini. Tapi dia tahu, ada harga yang harus dibayar untuk setiap kebaikan dari Fero. Dia mendengar banyak cerita tentang bagaimana pria itu memperlakukan wanita yang berada di bawah kendalinya, menggunakan kekayaan untuk memanipulasi hidup mereka.

Beberapa hari berlalu, tekanan semakin menghimpit Fio. Tagihan rumah sakit semakin tinggi, sementara pekerjaan di kafe tak cukup memberi napas untuk kehidupan mereka. Dengan berat hati, Fio menghubungi Fero.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline