Menjaga Kesehatan Mental di Tempat Kerja Yang Toksik
Kesehatan mental adalah aspek penting bagi para guru untuk menjalankan tugas mereka secara optimal. Namun, lingkungan kerja yang toksik, seperti konflik antar guru, kurangnya dukungan dari manajemen, dan tekanan kerja yang berlebihan, dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis guru. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi cara-cara yang dapat digunakan guru, khususnya di sekolah dasar, untuk menjaga kesehatan mental mereka meskipun berada dalam lingkungan kerja yang kurang kondusif. Pendekatan yang disarankan melibatkan penguatan pribadi, membangun jejaring sosial yang mendukung, mencari bantuan profesional jika diperlukan, fokus pada tupoksi seorang guru, menjadikan kritik sebagai bahan renungan, bersyukur atas pencapaian, dan menguatkan mental baja. Lingkungan kerja toksik adalah tempat kerja yang merugikan individu karena adanya intimidasi, penindasan, celaan dan kurangnya penghargaan kepada seseorang sehingga memicu stress dan menghambat kinerja.
Pendahuluan
Belakangan ini, sebuah kasus tentang seorang guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memutuskan untuk mengundurkan diri menjadi viral dan menuai pro dan kontra di media sosial karena alasan yang disampaikan yaitu lingkungan kerja yang sangat toksik. Guru tersebut mengungkapkan bahwa situasi di tempat kerjanya tidak lagi mendukung kesehatan mental dan fisiknya, sehingga ia merasa tidak memiliki pilihan lain selain mundur dari profesi yang telah dijalankannya selama bertahun-tahun. Dia merasa lebih menyayangi mental dan fisiknya daripada pencapaian yang telah diraihnya dengan susah payah.
Keputusan untuk resign, terlebih sebagai ASN, bukanlah keputusan yang mudah. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan, termasuk stabilitas keuangan, tanggung jawab terhadap siswa, serta ekspektasi masyarakat. Namun, pilihan tersebut menunjukkan keberanian untuk memprioritaskan kesehatan mental, yang sering kali diabaikan dalam lingkungan kerja.
Kasus ini membuka mata banyak orang tentang pentingnya menciptakan lingkungan kerja yang sehat, terutama dalam profesi yang berfokus pada pendidikan generasi mendatang. Artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai dampak lingkungan kerja yang toksik terhadap guru, serta strategi yang dapat diambil untuk menjaga kesehatan mental dalam situasi yang serupa. Selain itu, penting bagi kita untuk menghargai keputusan seperti ini, karena memutuskan untuk mundur demi kesejahteraan pribadi membutuhkan kekuatan dan keberanian yang besar.
Teori Kesehatan Mental dan Lingkungan Kerja Toksik
Menurut teori Maslach dan Leiter (1997) tentang burnout, lingkungan kerja yang toksik sering memicu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian pribadi. Hal ini dapat menyebabkan guru kehilangan motivasi dan merasa tidak kompeten dalam menjalankan tugas mereka. Sementara itu, Lazarus dan Folkman (1984) dalam teori coping menyebutkan bahwa individu dapat mengatasi stres melalui strategi coping problem-focused (berfokus pada solusi) atau emotion-focused (mengelola emosi). Dalam konteks guru, penerapan strategi coping ini dapat membantu mereka menghadapi tantangan di lingkungan kerja.
Selain itu, teori Self-Determination dari Deci dan Ryan (1985) menekankan pentingnya kebutuhan psikologis dasar seperti otonomi, kompetensi, dan keterhubungan. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi dalam lingkungan kerja, maka kesehatan mental individu dapat terganggu. Oleh karena itu, menciptakan suasana kerja yang mendukung pemenuhan kebutuhan ini sangat penting.
Faktor-Faktor Lingkungan Kerja yang Toksik di Sekolah
- Konflik Antar Guru: Persaingan tidak sehat atau gosip dapat menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman.
- Kurangnya Dukungan Manajemen: Kepala sekolah yang tidak responsif terhadap keluhan guru dapat memperburuk situasi.
- Tekanan Kerja Berlebihan: Tuntutan administratif dan beban kerja yang melebihi kapasitas guru.
- Minimnya Pengakuan: Kurangnya apresiasi terhadap kerja keras guru dapat menyebabkan demotivasi.