Sebagai generasi yang lahir tahun 90-an, saya masih memiliki ingatan yang kuat akan cerita dongeng Cinderella, bahkan dongeng ini masih menjadi kisah popular dan menjadi karya sastra yang tidak hanya dicintai anak-anak, namun juga dinikmati orang dewasa, ciri khas pangeran tampan, kisah menari, sepatu kaca dan ibu peri ajaib.
Kisah ini hampir menubuh di ingatan semua orang, bahkan mungkin masih menjadi dongeng favorit pengantar tidur untuk anak-anak, kisahnya menceritakan tentang seorang gadis cantik bernama Cinderella yang tinggal bersama ibu tiri yang jahat dan dua saudara tiri yang memperlakukkanya dengan buruk. Cinderella harus bekerja keras setiap hari mulai dari menyapu, mencuci piring dan membersihkan seluruh rumah, sementara saudara tirinya hanya bermain-main. Ayahnya yang sering pergi ke luar kota, semakin membuat ibu tirinya memperlakukannya dengan semena-mena. Kehadiran ibu peri ajaib yang baik hati akan menolong Cinderella ketika hendak berangkat ke pesta untuk memenangkan hati pangeran ditengah banyaknya pilihan perempuan yang hadir di kerajaan, di banyak versi cerita Pangeran dan Cinderella hidup bahagia selamanya.
Kepopuleran dongeng ini sampai pula dalam kajian ilmu sosial sehingga muncul istilah Cinderella Complex yang dipopulerkan oleh Coletee Dowling dalam bukunya "The Cinderella Complex" yang menyebut bahwa cinderella complex adalah suatu kecenderungan perempuan untuk terus bergantung secara psikis kepada laki-laki untuk terus dirawat dan dilindungi, serta berkeyakinan bahwa sesuatu dari luarlah yang akan menolongnya.
Istilah Cinderella Complex memang cocok jika dikaitkan, misalnya Cinderella bisa bangkit dengan satu kecupan seorang pangeran (laki-laki), hal ini seolah memberikan gambaran bahwa perempuan hanya bisa hidup dengan bantuan laki-laki, sehingga perempuan dikonstruksikan sebagai objek, dependent, terikat dan melekat pada kuasa laki-laki, sementara laki-laki dihadirkan sebagai subjek aktor dalam mengatur berbagai aspek kehidupan dan perempuan dipandang sebagai pelengkap atau pendamping saja.
Mendobrak Stigma Perempuan Lewat Film Cinderella (2021)
Film Cinderella (2021) yang digarap oleh Sony Pictures rasanya bisa menjadi pilihan tontonan jika dibandingkan dengan film Cinderella yang lain, selain keunikan dari film yang dibuat lebih fresh menjadi film musical, film ini juga menempatkan tokoh perempuan tidak melulu sebagai objek namun juga subjek. Pada awal kisah, penonton akan disuguhkan dengan plot yang berbeda yakni tokoh Cinderella yang memiliki mimpi untuk menjadi seorang desainer. Padahal kondisi sosial masyarakat pada film ini tidak mendukung untuk seorang gadis berkeinginan untuk berbisnis. Hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang akan mempermalukan nama keluarga. Ketidaksetaraan gender yang muncul di sini menandakan bagaimana perempuan dianggap tidak dapat secakap laki-laki dalam berbisnis, dan sebaliknya pula bisnis bukanlah tempat bagi seorang perempuan. Namun begitu, Cinderella berani untuk memimpikan hal tersebut yang berarti pola pikirnya sudah lebih maju daripada pola pikir masyarakat sekitarnya.
Dalam versi ini Cinderella juga menolak cinta Pangeran. Jika pada film sebelumnya kebahagiaan dari tokoh utama Cinderella hanya dapat diperoleh dari cinta sang Pangeran, tim produksi film ini memutarbalikkan hal tersebut. Tokoh Cinderella dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak ingin hidupnya hanya melambaikan tangan, atau dapat diartikan hanya sebagai hiasan. Ia bahkan membandingkan keadaan tersebut dengan hidup di ruang bawah tanah, yang berarti ia akan merasa begitu terkekang dan berada di bawah kuasa orang lain. Penolakannya terhadap kekangan tersebut merupakan gerakan feminis untuk memperoleh kesetaraan gender. Seorang perempuan pun berhak untuk meraih mimpinya.
Terdapat banyak gerakan feminis yang hadir pada film Cinderella (2021). Tidak hanya berpusat pada tokoh utama, namun hingga tokoh-tokoh sampingan pun berperan dalam memberi kesan feminis dan pemberdayaan perempuan pada keseluruhan kisah. Hal tersebut juga tergambar ketika Raja menjadi pro dalam kesetaraan gender yang ditunjukkan dengan pengakuannya terhadap kemampuan Putri Gwen yang dikatakan suatu saat akan menjadi pemimpin terbesar di dunia. Bersamaan dengan resminya Putri Gwen menjadi penerus tahta, sistem masyarakat pun akan berubah menuju era yang baru dengan pemikiran yang tidak lagi membenarkan bahwa laki-laki superior di atas perempuan. Pidato Putri Gwen yang disambut meriah oleh rakyat juga dapat diartikan pula bahwa pemikiran telah berubah dimana kini perempuan juga diakui kemampuannya dan tidak dianggap remeh dibandingkan dengan laki-laki.
Hemat saya film ini tidak memberi pesan moral yang sama dengan kisah orisinalnya yang mengatakan bahwa dengan melakukan kebaikan maka akan berujung dengan kebaikan pula. Melainkan mengajarkan kepada para penonton mengenai kesetaraan, dan agar tidak membuang cita-cita dan mimpi.
Cerita Anak dan Pentingnya Adil Gender