Sebagai seorang penikmat film dan karya fiksi yang dipublikasikan dalam bentuk film tentu saya sangat penasaran dengan film Dear David (2023), terlebih setelah film tersebut tayang di Netflix dan langsung menuai pro-kontra. Sebagai penonton yang mengapresiasi film tersebut, film Dear David disebut mengusung kisah pencarian jati diri dengan cara yang segar, sementara, tidak sedikit dari penonton yang mengecam film produksi Palari Films dinilai mengglorifikasi pelecehan seksual, bahkan banyak dari penonton yang memberi rating film ini di bawah lima.
Sejak kehadiran film ini banyak memantik diskusi para sineas muda hingga sutradara untuk memberikan tanggapan. Salah satunya adalah Joko Anwar yang menyampaikan pendapatnya di akun twitter yang kemudian diserang oleh para netijen yang kontra dengan film ini. Setidaknya Joko Anwar membuat sebuah utas mengenai opininya terkait film ini. Pertama ia menyebut “Premis yang relevan”. Joko menilai Dear David mengangkat premis atau dasar pemikiran yang releven, tidak hanya bagi remaja namun juga semua kalangan. Menurutnya film ini berbeda dengan film remaja pada umumnya.
Selain premis juga skenario terbaik. Menurutnya film ini adalah salah satu film dengan skenario terbaik yang pernah ia tonton, dengan dialog-dialog yang menarik dan tajam. Semua karakter dengan pembawaan kuat dan fresh. Ia menyebut, karakter dalam film ini realistis. Artinya dalam penggambaran tersebut pemain tidak digambarkan dalam karakter sempurna, dan terakhir adalah soal visual pemain yang sangat Indonesia. Namun dalam ulasan ini saya tidak akan membahas tentang tanggapan Joko Anwar terkait film tersebut, saya ingin membahas setidaknya dua hal yang menjadi perhatian saya selama menonton 1 jam 58 menit, yakni stigma perempuan dan kritik film tersebut dalam institusi pendidikan.
Secara singkat, Dear David menceritakan tentang seorang gadis bernama Laras yang diperankan (Shenina Cinnamon) yang berprestasi di sekolah. Selain dikenal sopan, Laras juga dikenal cerdas aktif di berbagai organisasi, bahkan ia menjadi Ketua OSIS di sekolahnya. Dalam film tersebut, Laras bukan berasal dari keluarga ekonomi kaya, keluarganya pas-pasan secara ekonomi sehingga ia berusaha mendapatkan beasiswa hingga lulus SMA. Inilah yang membuatnya sebisa mungkin harus menjaga citra dengan tidak berbuat hal yang aneh dan konyol.
Dalam film tersebut, Laras sangat pandai dalam menjaga citra. Hingga tidak ada yang tahu kalau Laras menaruh hati kepada David (Emir Mahira), teman satu SMA yang popoler sebagai pemain bola di sekolah. Perasaan suka kepada David tidak pernah ia ungkapkan secara langsung, Laras hanya berani menuliskan perasaanya melalui cerita fantasi yang ia tulis di blog pribadi, bahkan itupun menggunakan nama samaran, cerita yang didalamya dipenuhi nafsu dan gairah anak muda yang jatuh cinta kepada David. Naasnya, sepandai-pandai cerita itu ditutupi akhirnya terbongkar juga. Cerita fantasi seksual yang ia tulis bocor dan dibaca seluruh guru dan murid di sekolah. Hal ini dikarenakan karena ia lalai dalam menggunakan komputer sekolah. Ia lupa mengeluarkan akunnya dari komputer lantaran buru-buru masuk kelas. Tulisan tersebut kemudian dipermasalahkan lantaran dianggap merusak moral anak dan mengandung fantasi seksual terhadap David.
Stigma Perempuan dalam Film Daer David
Dalam film tersebut, saya tidak hanya fokus pada satu tokoh utama Laras, melainkan ada juga Dilla yang diperankan (Caitlin North Lewis) murid yang senang berpose seksi di media sosial dan dituduh sebagai tersangka utama penulis cerita, sehingga ia dicibir satu sekolah, bahkan dengan tidak adanya bukti yang real Dilla tetap dihukum dengan cara diskors dan disita handphone miliknya. Image dan citra Laras yang berprestasi, polos, gadis dari keluarga sederhana dengan segudang prestasi tidak dicurigai karena penampilannya. Film ini seakan meggambarkan paradigma masyarakat kita terhadap perempuan. Selama ini masih banyak anggapan yang mengatakan bahwa perempuan yang mengenakan baju terbuka akan menjadi korban pelecehan, atau yang lebih mengenaskan lagi adanya mitos di tengah-tengah masyarakat bahwa perempuan dengan baju terbuka adalah perempuan yang merangsang pelecehan seksual itu sendiri.
Kritikan untuk Institusi Pendidikan
Sebagai institusi pendidikan, hemat saya kesalahan yang dilakukan pihak sekolah yang pertama adalah ketika cerita tersebut viral, sekolah tidak memberikan ruang aman kepada korban yakni David, padahal dalam film tersebut jelas digambarkan David mengalami perundungan setelah kasus tersebut viral. Sekolah seharusnya hadir dalam memberi perlindungan kesehatan mental kepada David sebagai korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Faktanya, sekolah lebih fokus pada pencarian penulis cerita karena dianggap membuat malu sekolah. Pihak sekolah terlalu fokus pada pemulihan nama baik sekolah ketimbang memulihkan kesehatan mental David yang terganggu dengan kasus ini.
Semenatara solusi yang ditawarkan sekolah adalah dengan adanya pertemuan untuk edukasi seks bagi para murid tapi tetap tidak menunjukkan pihak sekolah peduli terhadap korban, padahal tragedi kejadian di kamar mandi membuat korban trauma hingga beberapa saat. Setelah pihak sekolah mengetahui siapa penulisnya, sekolah sebagai lembaga institusi juga tidak memberikan keadilan, ia hanya menghukum Laras, namun tidak menghukum Gilang (si penyebar konten). Saya sepakat dengan laras dengan aksi yang dilakukannya di akhir film saat ia memberi sambutan dan permintaan maaf kepada temannya. Ia hadir sebagai perempuan yang berani mengkritik institusi pendidikan yang dianggapnya kolot. Ia juga mengungkapkan bahwa ia hanyalah manusia muda yang punya gairah dan perempuan yang sedang jatuh cinta.