Berbicara perempuan Makasssar sangat menarik untuk dikaji. Kemenarikan pada perempuan Makassar dapat ditinjau dari beberapa aspek diantaranya aspek spiritual/ritual, adat istiadat, kasta budaya seni, kepercayaan termasuk masyarakat sosial yang sangat berhubungan dengan adat atau budayanya. Masyarakat Makassar bisa dikatakan mengusung pemikiran-pemikiran yang bersifat arif atau masih menggunakan kearifan lokal (Local genius). Beberapa kearifan lokal tersebut dibuktikan dengan silariang, parakang, (Phabicara,2010:13). Masyarakat ini dikenal sangat tentram dengan adanya kearifan lokal di tengah budayanya sendiri yang heterogen.
Meskipun masyarakat ini mengusung kearifan lokal seperti yang disebutkan di atas, masyarakat Makassar khususnya perempuan nyatanya belum terlepas dari konflik internal. Konflik internal merupakan konflik yang muncul dalam suatu komunitas masyarakat Makassar itu sendiri. Konflik yang paling klasik adalah konflik kasta, dalam masyarakat Makassar kelas terendah disebut ata golongan rakyat biasa.
Pada zaman dahulu golongan ini disebut budak para bangsawan, diatas golongan ini ada yang namanya daeng golongan masyarkat menengah biasa. Kasta tertinggi pada masyarakat Makassar disebut dengan Karaeng, golongan ini hanya akan dimiliki oleh seseorang yang menyandang status, kaya; berilmu; alim.
Perempuan Makassar yang tergolong ata maupun daeng tidak diperkenankan menikahi kasta laki-laki berketurunan karaeng. Kecuali perempuan tersebut mampu memenuhi tiga syarat pamole cera, dalam bahasa Makassar diartikan sebagai pengganti darah, syarat agar bisa dinikahkan dengan golongan yang paling tinggi karaeng. Sementara laki-laki berketurunan Karaeng bisa menikahi perempuan dari golongan mana saja yang mereka suka baik ata maupun daeng tanpa memberatkan persyaratan apapun. Polemik yang berkepanjangan dalam memposisikan perempuan menjadi makhluk kedua dan subordinat masih terjadi hingga sekarang ( masa modern) di Makassar. Eksistensi kasta pada masyarakat Makassar dalam menentukan pasangan justru menimbulkan persoalan pelik pada konflik internal yang berujung negatif.
Perempuan Makassar dalam menentukan atau memilih pasangannya harus berdasarkan persetujuan laki-laki atau keluarga besarnya. Perempuan Makassar jarang diberikan membuat sebuah keputusan sendiri dalam menentukan pilihan hidupnya. Perkawinan dan menentukan pasangan hidup mempunyai konsekuensi hukuman bagi pelakunya, khususnya bagi mempelai perempuan. Hal ini adalah salah satu bentuk subordinasi dalam bentuk batin terhadap perempuan Makassar. Beberapa contoh kasus pernikahan dini juga masih terjadi di Makassar seperti yang dilansir oleh Liputan 6. Berdasarkan data, jumlah pernikahan dini di Makassar semakin meningkat. Pengadilan Agama kota ini menyebutkan sejak Januari hingga Desember 2015 telah terjadi pernikahan anak di bawah umur sebanyak 31 kasus.
Secara tidak langsung hal itu menunjukkan secara tegas bahwa angka kekerasan terhadap perempuan berbasis gender masih tergolong tinggi jumlahnya di Indonesia khususnya Makassar bagian Jenoponto Sulawesi selatan. Kekerasan yang dialami oleh perempuan yang berdampak pada kesengsaraan atau penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual dan psikologis, termasuk tindakan ancaman tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam lingkungan kehidupan pribadi.
Diskriminasi dalam konvensi CEDAW (dalam Vony Reyneta : 2003: 11) Subordinasi perempuan Makassar dalam hegemoni kasta memiliki konsep setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan lain-lain oleh kaum perempuan. Terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan konsep tersebut dapat dibedakan menjadi dua bagian bentuk kasus.
Pertama, diskriminasi terhadap perempuan Makassar secara subordinasi ditunjukkan oleh perilaku masyarakat yang berkasta tinggi terhadap masyarkat (perempuan) berkasta rendah. Kedua, diskriminasi terhadap perempuan Makassar secara subordinasi ditunjukkan oleh perilaku pengusiran atau pengangsingan perempuan berkasta ata, daeng yang tidak boleh menikah dengan kasta karaeng. Hal ini disebabkan oleh paradigma masyarakat yang sudah mengakar dan dikonstruksikan sejak zaman nenek moyang pada masyarakat Makassar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H