Lihat ke Halaman Asli

Hujan Masih Berisi Genangan, Bukan Kenangan

Diperbarui: 5 Januari 2021   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

                Suara gemericik terdengar di pelataran. Air mengalir deras dari pipa. Pagi ini matahari dipersilahkan untuk beristirahat sejenak karena hujan sedang datang bertamu. Daun bergerak lincah tertimpa rintiknya berkali-kali. Bahkan tanah sudah tak sanggup menampung air hujan sehingga menimbulkan genangan.

               "Tenang... Hujan cuma air." Begitu katanya, kala aku sedang menatap hujan di jendela kamar. Tanganku memainkan embun yang tertinggal di dalamnya. Mengukir kebahagiaan yang luntur terbawa guyuran hujan kala itu.

               Mataku memejam. Nyatanya aku masih membenci hujan. Hujan memang hanya air, tapi ketika bermain hujan-hujanan tubuh akan ambruk keesokan harinya. Demam tinggi atau pun hidung mengeluarkan ingus seperti hilir.

               Aliran air hujan yang tersumbat menyebabkan banjir dimana-mana. Wabah penyakit merajalela. Banyak warga yang kehilangan tempat tinggal. Menyatu berkumpul di pengungsian. Duduk menunggu bantuan yang datang.

              Pun menimbulkan banyak bahaya lainnya. Tragedi yang menghilangkan nyawa. Licinnya jalan yang tersiram hujan sore itu. Tawa yang diciptakan di derasnya hujan membuat petaka. Membawa kebahagiaan yang direnggut paksa. Luka yang muncul setelah bahagia.

             Aliran darah yang bercampur dengan beningnya air. Kepulan asap yang muncul tiba-tiba. Teriakan memohon pertolongan menggema bersama petang yang akan singgah. Semuanya berputar bagai kaset rusak di ingatan.

            "Shhhh..." Aku memegangi kepala. Sudah 3 tahun berlalu. Namun, bayangan itu tak mau sirna. Rasa mual itu masih terasa. Psikiater tak mampu mengobati trauma. Hanya menghilangkannya untuk sementara.

            Depresi membuatku berobat ke sana. Rumah sakit jiwa menjadi tujuan utama. Mental sudah tak kuat menahan beban penglihatan. Semuanya terjadi begitu nyata di depan mata. Keselamatan berkendara yang tidak diperhatikan. Bergurau sambil menyetir di lebatnya hujan.

            Hembusan nafas yang mulai sesak. Mata yang kian memburam tertutupi kristal bening di sudutnya. Kepalaku berputar. Mencoba mengalihkan focus pada sekitaran. Ruangan ini didominasi warna biru pastel dengan spring bed king size di tengah ruangan. TV LED  yang menjadi benalu dinding karena ukurannya yang menempel terlalu besar. Air conditioner yang menyala tak kenal waktu. Pun ornament-ornament mewah sebagai pelengkapnya. Bingkai foto berukuran 3R terletak di nakas depanku. Kamar ini yang menampungku dan keluarganya yang telah memungutku selama ini.

            Ayahnya menikah dengan ibuku. Keluarganya yang terpandang bersedia mengobatkanku. Orang yang hampir gila karena teriak histeris saat hujan singgah. Pertemuan keluarga yang tak sengaja aku kacaukan. Nyatanya mereka mampu menerima dengan lapang.

           Riri mengajakku mampir ke halaman. Tangannya melambai dari sana. Serta tawa bahagia yang ditunjukkannya. Tanganku meletakkan bingkai ke tempat semula. Menghapus jejak air mata yang tersisa. Berjalan meski pusing masih menyandera kepala. Bukankah aku tidak boleh terus-terusan terpuruk? Semangatku dalam hati.

           Hujan sudah reda. Riri mengait tanganku. Menariknya ke pekarangan. Menikmati sisa petrichor yang disuguhkan. "Hujan masih berisi genangan, bukan kenangan." Ucapnya. "Ayo semangat, aku bantu." Lanjutnya tulus.

           Kami tersenyum. Tidak ada yang perlu disalahkan dari nikmat Tuhan satu ini. Hujan jatuh untuk membantu makhluk bertahan hidup. Kelalaian manusialah yang menjadi penyebab semuanya terjadi. Tuhan menegurnya dengan memberikan bencana supaya mereka jera dan tidak mengulanginya. Waspadalah untuk perbuatan yang kamu tanam, kamu juga yang akan panen di kemudian hari.

          Karena pada kenyataannya hujan hanya menyisakan genangan bukan kenangan. Sudah... tidak usah baper. Keep healthy. Keep strong for everything saja. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline