Nur Sutan Iskandar adalah sastrawan Angkatan Balai Pustaka. Nur Sutan Iskandar memiliki nama asli Muhammad Nur. Setelah menamatkan sekolah rakyat pada tahun 1909, Nur Sutan Iskandar bekerja sebagai guru bantu. Pada tahun 1919 ia hijrah ke Jakarta.
Di sana ia bekerja di Balai Pustaka, pertama kali sebagai korektor naskah karangan sampai akhirnya menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Balai Pustaka (1925-1942). Kemudian ia diangkat menjadi Kepala Pengarang Balai Pustaka, yang dijabatnya 1942-1945. Nur Sutan Iskandar tercatat sebagai sastrawan terproduktif di angkatannya.
Salah satu karyanya yang terkenal pada masa itu adalah novel Cinta Tanah Air. Novel ini menceritakan tentang seorang pemuda berusia 24 tahun yang sedang menunggu trem. Anak muda itu bernama Amiruddin, berpakaian putih bersih dan bersepatu hitam mengkilap.
Hari pun sudah senja, namun trem belum datang juga. Becak pun tidak ada yang kosong dan kendaraan-kendaraan lain tidak tampak. Tidak lama kemudian trem pun datang, ia pun segera bergegas menaiki trem tersebut. Di dalam trem ia berbicara dengan orang yang berada disampingnya.
Segala gerak-geriknya diperhatikan oleh seorang perempuan yang duduknya agak jauh. Pandangannya begitu melekat terhadap Amir. Perasaan hati tergambar di matanya. Ketika Amiruddin tidak sengaja memandang pula kepadanya, beradulah mata keduanya. Hanya sebentar saja, lalu menundukkan kepala masing-masing.
Hati Amiruddin berdebar-debar dengan kencang. Mukanya menjadi merah dan pucat berganti-ganti. Karena gugup, ia meraba saku dibajunya, diurut-urut kaki celananya dan memperbaiki tali sepatunya.
Sementara itu terdengarlah suara riuh di luar dan di dalam trem itu, sepasukan anak-anak sekolah masuk ke trem. Di atas Sungai Ciliwung yang lebar lagi lurus terbentang plakat dari kain putih yang bertulis berbagai semboyan
"Sekutu mesti hancur.
Asia Raya Bangkit.
Indonesia! Bela tanah airmu!"