Lihat ke Halaman Asli

Siti Nuraini

Hanya seorang hamba

Cerpen | How This Life Gonna Be Broke

Diperbarui: 2 Oktober 2019   17:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tiga ratus---enam puluh---derajat. Perubahan akan membuatmu yakin akan penghidupan selanjutnya, bila kamu menikmati rasa sakit. Poor Lady, itulah panggilanku. Di dalam ruangan berwana putih bercahaya. Seseorang duduk di depanku dan bertanya sesuatu. Ada dua hal yang perlu kutanyakan dan kudengar darinya. Entah, aku meragukan orang ini, tetapi sekarang ia adalah dokterku. Aku tidak butuh Dubai. Aku tidak butuh penghargaan dengan pujian-pujian yang tidak akan mengubah apa pun, melainkan akan membuat mabuk dan tidak ingat apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia menanyakan hal yang sangat konyol. "Ini orang membuatku letih untuk menjawabnya," bisikku pada Ayah.

"Hidup ini menjadi tidak normal bagimu?" tanya Ayah kemudian.

"Siapa yang akan menganggap hidup ini adalah sesuatu yang normal. Aku bersembunyi di dalam kepalsuan. Semua ini aku lakukan selama aku masih bisa membangun bangunan di atas jantungku. Hidup ini tidak semudah kedengarannya."

"Kamu tidak normal, Nak," kata Ayah tiba-tiba. Perkataan itu membuatku ingin marah, karena aku sama sekali tidak tahu alasan Ayah membawaku ke dokter syaraf, sedangkan ia sama sekali tidak mengetahui apa yang sedang dialami anaknya? Aku mengangguk sambil membungkamkan kedua bibirku. Aku menahan tangis. Emosiku mungkin tidak terkendali. Aku sangat cepat menangis. Namun, di satu sisi aku percaya, kalau orang menangis tidak pernah tanpa alasan... Semua memiliki alasan. Hingga bibirku berdarah, karena aku menggigitnya sepanjang waktu...

***

"Aku diterima di UI. Kemarin aku menyerahkan surat pengundurandiriku ke balai kota." Semua orang tercengang. Ramli menyenggolku. "Setidaknya mereka bisa sombong sekarang." Aku masuk ke dalam kamar. Membaca buku yang hanya tersisa Halaman 349 membuatku sedikit terganggu untuk menyelesaikannya. Ibu memanggilku dari luar kamar untuk mendapatkan setidaknya satu potongan biscuit yang langsung diangkat dari oven dan segelas the serta susu hangat di siang hari yang berubah menjadi keceriaan di wajah Ibu. Aku keluar, dan tiba-tiba Ibu memelukku... Aku tidak ingin memberitahu kamu apa yang kemudian terjadi padanya...

12 April 2018

"Aku akan mewakili Indonesia ke Thailand untuk membawa isu Papua, padahal aku ini seorang mahasiswi yang putus sekolah, karena kedengkian seseorang terhadap hidupku," kataku pada Ramli. Walau dia temanku, aku tidak pernah sungkan untuk menuduhnya, karena suatu saat nanti dia bisa saja jadi musuh terbesarku. "Ramli, kamu senang berkawan denganku. Aku selalu penasaran... Kenapa kamu tidak berteman dengan orang lain yang lebih menunjang kepribadianmu supaya kamu tidak menjadi pembenciku nanti."

Ramli tersenyum kecil. "Aku tidak mungkin membencimu."

"Kamu bisa saja."

Mad world. Aku tidak memahaminya. "Aku baru pulang mengajar," katanya, "seperti yang selalu aku lakukan." Aku terdiam, kemudian ia melanjutkan, "Aku tidak akan mengubah apa yang sedang aku sukai. Kamu seorang mahasiswa... Kamu harus belajar dengan baik, sehingga kamu bia membantuku suatu saat nanti."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline