Lihat ke Halaman Asli

Siti Nuraini

Hanya seorang hamba

Heritage

Diperbarui: 27 September 2019   18:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mataku membiru. Langit kelabu menebarkan detak jantungku yang mengikuti alunan awan hitam yang berusaha memendung air matanya. Semuanya menatapku payau. Aku tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Aku tidak tahu apakah dia masih menyukaiku atau tidak, tetapi inilah yang terjadi. Aku memutar hidupku dengan segelas air perasan dari kunyit dan gula merah. Bertaburan dengan buah markisa tua yang bisa memabukkanku. Aku tidak percaya, kalau ternyata nenek moyangku lebih nakal dibandingkan pemuda-pemudi berpakaian terbuka di lantai dansa malam ini. Nenekku pernah bilang kepadaku, kalau aku sebenarnya tidak takut akan perubahan ini. Hanya saja aku menyadari, kalau dunia ini tidak akan kembali noromal, bila aku tidak ingin melakukan perubahan. Tidak selamanya tinggal di dalam kurungan budaya yang statis. Budaya yang kau kira sudah sempurna, tetapi malah selalu dilestarikan sebagai bukti kedengkian terhadap budaya lain. Ke mana seharusnya aku berlabuh setelah dunia tidak lagi mengenal budaya sebagai suatu ajaran melainkan suatu yang nista dan seharusnya dihapuskan di muka bumi karena ada yang berusaha mendominasi peradaban? Apakah kamu mengerti apa yang kumaksud? Apakah ini sulit? Tentu, kalau aku jadi kau, pasti ini sangat sulit. Namun, bagaimana bila ini adalah Time Travel yang sulit kamu artikan tetapi memang benar-benar ada? Bisakah kamu tetap percaya denganku walaupun banyak orang ketakutan dan menganggapku gila?

Nusa Dua, Bali

2004

Namaku Tesa. Aku tinggal bersama boneka Teddy Bear selama dua tahun belakangan ini. Aku di manjakan dengan permen kapas dan bunga sepatu merah muda sepanjang hari. Setiap orang berkunjung ke rumah sakit, mereka selalu mencium pipiku dan dahiku. Aku selalu membungkan, ketika salah seorang anak bernama Doni ingin menciumku. Namun, semakin ke mari aku semakin takut dengannya. Aku sekolah di SMAN 1 Denpasar. SMA yang cukup luas dan menyediakan lapangan basket. Kulitku yang kuning berubah menjadi cokelat, karena terlalu sering bermain bola basket sendirian di lapangan. Aku yang terbiasa dengan suhu laboratorium saat kecil dan ruang operasi akhirnya tergantikan dengan rasa cintaku pada basket. Walau seperti itu, aku tetap saja sakit. Kakiku rapuh, kamu tahu itu? Aku juga tidak seperti anak gadis lainnya yang memilih warna bunga yang mereka mau untuk hari valentine mereka. Bersama pacar mereka. Namun, bagiku, hidup itu adalah untuk bertahan hidup. Bertahan dari apa yang mengganggumu dan bertahan dari penyakit-penyakitmu. Kalau seperti itu, kenalin, aku Tesa Hoffmann. Seorang Islam, berdarah Yahudi, lahir dari rahim seorang wanita Hindu, dan aku hidup dengan gaya teman-temanku yang kebanyakan beragama Kristen. Komplikasi di satu tubuh. Tidak hanya penyakitku yang berkumpul jadi satu. Namun, kehidupan sosialku juga cukup membuatku gila.

Biasanya aku bermain basket sendiri. Kadang Doni, anak laki-laki yang sering menciumku waktu kecil mengajakku satu ronde permainan. Kadang cukup dramatis, karena dia selalu tersenyum, ketika mencoba mengalihkan pandanganku pada ring. Aku hanya bisa mendeham dan menahan diri, karena dia akhirnya tumbuh menjadi cowok yang membuat reputasiku semakin jelek di kalangan cewek-cewek. Entah itu aku dipanggil satpamnya, karena tubuhku yang tinggi dan hitam, dan ada juga yang memanggilku anjing penjaga. Memang ya, ini cowok bisa sekali membuatku merasa terganggu setiap hari... "Tesa, kamu mau kubelikan minum," katanya, ketika sibuk memantulkan bola ke lantai.

"Ah, santai saja kali...," menghapus piluh, "aku sudah biasa bermain basket sampai jam segini."

Doni memangku dagunya seraya mencoba terlihat berpikir. "Kalau begitu sehabis kamu main aja... Gimana?"

"Kamu kan ngajak buat aku berhenti main, kan?" Aku jadi bingung-bingung sendiri.

"Udah deh," dia mendekat. Dia lebih tinggi dariku. Kemungkin hampir mencapai dua meter. Kulitnya yang ga terlalu hitam membuat matanya terkesan besar dan alisnya begitu tegas terlihat. Apalagi, bila keringat membasahi kedua pelupuk matanya. Dia sedikit tersenyum. "Kamu ini yah... Maksudku itu, aku itu ngajakin kamu makan malam. Sehabis ini, kamu ke rumahku. Ibuku ingin melihat perubahanmu. Begitu kata beliau." Dia menegakkan sedikit tubuhnya sambil mendeham ringan. Dia tersenyum kecil, "Gimana? Mau tidak?"

***

Di atas meja semuanya menegang. "Saya seorang muslim. Ya, Anda benar. Ibu saya seorang Hindu. Saya tinggal di sini. Di Bali. Ya, saya orang Bali." Semua orang terdiam. Sambil menahan tangis aku pulang. Namun, tidak kusangka akhirnya Doni berteriak di belakangku, dan dengan segera aku menoleh ke belakang. Berharap Doni akan memelukku seperti saat masih kecil dia sering melakukan itu padaku. Aku mendekat ke arahnya di tengah malam yang gelap... Tanpa berkata apa-apa. Doni hanya tersenyum dan satu lecutan suara pistol menghantam belakang lehernya. Aku terbungkam. Tidak bisa melakukan apa pun. Keluarganya telah menolakku di meja makan, karena aku adalah seorang muslim. Doni memang beragama Hindu, dan ketika bersama dia aku selalu memandangnya sebagai seorang Hindu. Namun, mengapa akhirnya perasaan ini berubah? Mengapa ketika aku tidak bisa melindungi orang yang seharusnya aku tunggu sejak dulu. Dia adalah cinta pertamaku. Apakah kamu akan menyalahi permohonanku untuk bersama laki-laki yang berbeda agama denganku? Tentu, aku menganggap ini bukan cinta karena agama... Namun, cinta yang tumbuh langsung dari darah dagingku sendiri, kalau memang aku adalah anak dari seorang Hindu...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline