Minggu ini sejak tanggal 24 Februari 2022 dunia dibuat heboh setelah Rusia melakukan invasi militer ke Ukraina. Hal ini dilakukan setelah Rusia gagal dalam menuntut Ukraina agar tak menjadi bagian dari NATO, hal ini bisa dikatakan sejalan dengan invasi yang telah dilakukan 2014 silam namun kali ini invasi militer yang dilakukan disertai dengan serangan yang mampu menciptakan kekacauan besar.
Namun, terlepas dari masalah utama tersebut, konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina memiliki akar sejarah yang begitu panjang. Ukraina adalah pihak yang diserang sehingga muncul pertanyaan, "Apakah benar Ukraina adalah korban?"
Jawabannya bisa ya, bisa pula tidak, yang jelas baik pihak yang diserang maupun yang menyerang keduanya sama-sama dirugikan dan menjadi korban atas permainan yang dituggangi pihak Amerika.
Kekuatan Rusia jelas jauh lebih besar, jadi dengan cepat Rusia bergerak menguasai Ukraina, namun dalam serangan yang dilakukan, Presiden Rusia yakni Putin memasang strategi yang cukup manusiawi, sebab dalam serangannya lebih difokuskan di bagian militer dan berusaha menghindari pemukiman.
Di tengah musim dingin yang harusnya menusuk tulang, warga Ukraina malah dibuat teramat cemas dengan keadaan yang ada. Namun, Putin tampak masih memiliki hati, ia tak merusak bagian listrik dan air sehingga penunjang kehidupan bagi Ukraina masih ada, karena jika listrik mati, penyebab binasanya Ukraina bukan lagi serangan dari para pihak militer melainkan karena kedinginan. Hari pertama saat invasi tak ada dukungan yang datang di pihak Ukraina.
Karenanya Presiden Ukraina Zelensky memanggil warga umur 18-60 tahun untuk berperang, lantas dia sendiri merencanakan untuk mengungsi dengan bantuan Amerika. Namun, rencana tersebut diketahui pihak umum.
Sejalan dengan kejadian yang kian memanas, Presiden Ukraina memberlakukan kondisi darurat militer. Opininya, pesan ini bisa menyeret ke perang besar se-Eropa. Bisa disimpulkan bahwa, sang presiden berusaha memperluas pertikaian, menyeret negara-negara lain untuk ikut.
Melihat keadaan yang semakin terjepit, Presiden Ukraina kala itu menghubungi Presiden Amerika untuk meminta bantuan. Namun karena sudah dini hari, Biden hanya bisa membuat janji yang katanya akan didiskusikan besoknya. "Besok, saya akan bertemu dengan para Pemimpin G7, dan Amerika Serikat serta Sekutu dan mitra kami akan menjatuhkan sanksi berat kepada Rusia.
Kami akan terus memberikan dukungan dan bantuan kepada Ukraina dan rakyat Ukraina." Namun pernyataan ini berakhir menjadi sebuah janji semata karena keesokan harinya, taka da pergerakan apa-apa.
Dalam sebuah acara, seorang reporter bertanya kepada Biden, "Apakah Anda menyepelekan Putin?" Tak diberi jawaban, ia hanya menyeringai seolah menjawab bahwa ia memang menyepelekan Putin. Tampaknya, Amerika tak belajar dari masa lalu yakni meremehkan lawan. Harusnya, Biden belajar dari kekalahan memalukan dia atas kekalahannya dengan Taliban.
Lalu mengenai langkah Zelensky yang diambil di hari selanjutnya yakni memutuskan hubungan diplomatik dengan Rusia. Kedubes Rusia di Kiev sudah dikosongkan dan bendera telah diturunkan.