Pernahkah Anda merasakan kepuasan mendalam yang melampaui kesenangan sesaat? Mungkin saat menikmati keindahan alam, berkumpul dengan orang yang dicintai, atau mencapai sebuah tujuan yang berarti. Perasaan inilah yang disebut dengan Eudaimonia, sebuah konsep Yunani Kuno yang mengacu pada kebahagiaan sejati dan bermakna.
Aristoteles, filsuf besar Yunani, mengajarkan kita bahwa Eudaimonia bukanlah tujuan yang mudah dicapai. Ini adalah hasil dari perjalanan panjang dalam mengembangkan karakter, menjalani hidup yang bermoral, dan berkontribusi pada masyarakat. Syukur, salah satu kebajikan utama, memainkan peran kunci dalam mencapai Eudaimonia. Seperti apakah relasi eudamonia dengan syukur?
Gus Baha, seorang ulama kharismatik, seringkali mengajarkan tentang pentingnya syukur dalam kehidupan. Beliau menjelaskan bahwa syukur bukan hanya sekadar ucapan terima kasih, tetapi sebuah sikap hati yang mendalam. Dengan bersyukur, kita membuka diri untuk menerima lebih banyak nikmat dari Allah SWT. Konsep ini sejalan dengan Eudaimonia, di mana kita diajak untuk menghargai setiap aspek kehidupan dan menemukan kebahagiaan sejati.
Mengapa Eudaimonia?
Kata "eudaimonia" sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu eu yang berarti "baik" dan daimon yang berarti "roh" atau "dewa". Secara harfiah, eudaimonia dapat diartikan sebagai "keadaan berjiwa baik" atau "kebahagiaan sejati".
Konsep eudaimonia sebenarnya sudah ada jauh sebelum zaman Aristoteles. Filsuf-filsuf Yunani Kuno lainnya seperti Socrates dan Plato juga membahas tentang kebahagiaan sejati dan bagaimana cara mencapainya.
Eudaimonia sering diterjemahkan sebagai "kebahagiaan" atau "kemakmuran", namun sebenarnya maknanya jauh lebih kaya dan kompleks daripada sekadar perasaan senang sesaat.
Aristoteles, dalam karyanya yang terkenal "Nikomakhean Ethics", membahas eudaimonia secara mendalam. Baginya, eudaimonia bukan sekadar perasaan senang sesaat, melainkan tujuan akhir dari kehidupan manusia. Ini adalah kondisi hidup yang bermakna, memuaskan, dan penuh dengan keberhasilan dalam mengembangkan potensi diri.
Aristoteles berpendapat bahwa eudaimonia dicapai melalui tindakan yang baik dan pengembangan virtue atau kebaikan moral. Dengan kata lain, kebahagiaan sejati tidak datang dari kesenangan semata, tetapi dari menjalani hidup yang bermakna dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.