Lihat ke Halaman Asli

Siti Khoirnafiya

Pamong budaya

Stuart Hall dan Eksposur Pangan: Sebuah Tinjauan

Diperbarui: 23 Januari 2025   15:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: dokumentasi pribadi

Stuart Hall, seorang tokoh penting dalam studi budaya, menawarkan perspektif yang kaya tentang bagaimana media, negara, dan pangan saling terkait dan membentuk makna dalam masyarakat. Konsep eksposur, dalam konteks pemikiran Hall, mengacu pada bagaimana pesan-pesan media diproduksi, disebarluaskan, dan ditafsirkan oleh audiens.

Teori Encoding-Decoding Stuart Hall

Salah satu kontribusi utama Hall adalah model encoding-decoding. Model encoding-decoding Stuart Hall adalah sebuah kerangka kerja analisis yang sangat berguna untuk memahami bagaimana pesan media diproduksi, disebarluaskan, dan ditafsirkan oleh audiens. Model ini menekankan bahwa makna tidaklah pasif diterima oleh audiens, tetapi justru aktif dikonstruksi dalam proses interaksi antara teks media dan konteks sosial budaya audiens.

Encoding

Dalam teori komunikasi, encoding adalah proses mengubah ide atau pesan menjadi bentuk yang dapat dipahami oleh penerima. Proses ini melibatkan pemilihan kata, gambar, suara, atau simbol-simbol lain yang sesuai dengan konteks dan tujuan pesan. Stuart Hall, seorang ahli budaya populer, memberikan sumbangan besar dalam memahami bagaimana proses encoding ini bekerja dalam konteks media.

Menurut Hall, proses encoding tidaklah netral. Produsen media, seperti pembuat film, penulis berita, atau pembuat iklan, memiliki kepentingan dan ideologi tertentu yang akan mereka sematkan dalam pesan yang mereka produksi. Dengan kata lain, pesan media tidak hanya sekadar informasi, tetapi juga merupakan konstruksi sosial yang mengandung makna-makna tertentu.

Hall mengusulkan model encoding-decoding untuk menjelaskan bagaimana pesan media diproduksi dan diterima. Dalam model ini, produsen media menyediakan pesan dengan nilai-nilai, ideologi, dan asumsi mereka. Pesan ini kemudian didekode oleh audiens. Namun, proses decoding tidak selalu berjalan satu arah. Audiens tidak selalu menerima pesan secara pasif. Mereka dapat menafsirkan pesan sesuai dengan latar belakang sosial, budaya, dan pengalaman pribadi mereka.

Ilustrasi gagasan Hall terkait encoding misalnya bayangkan Anda sedang berjalan di pusat perbelanjaan yang ramai. Aroma menggugah selera tiba-tiba menggelitik indra penciuman Anda. Mata Anda tertuju pada sebuah gerai makanan cepat saji dengan desain yang ceria dan lampu-lampu terang. Tanpa sadar, langkah kaki Anda terhenti dan Anda merasa tertarik untuk masuk. Tahukah Anda? Di balik semua itu, ada sebuah sihir yang bekerja keras: encoding.

Encoding dalam dunia makanan cepat saji adalah seni merangkai berbagai elemen untuk menciptakan pengalaman yang menggugah selera dan sulit dilupakan. Setiap detail, mulai dari warna kemasan hingga musik yang diputar, dirancang dengan cermat untuk membuai indra dan membujuk Anda untuk membeli.

Ilustrasi gagasan Hall misalnya, perhatikan warna-warna cerah yang mendominasi kemasan makanan cepat saji. Merah menyala, kuning cerah, dan hijau segar bukanlah pilihan yang kebetulan, tetapi strategi pemasaran yang cermat. Warna-warna ini secara psikologis merangsang nafsu makan dan menciptakan kesan ceria. Bayangkan saja, ketika Anda melihat kotak burger berwarna merah menyala dengan logo yang menggugah selera, otak Anda langsung mengirimkan sinyal bahwa makanan di dalamnya pasti lezat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline