Lihat ke Halaman Asli

Tak Cukup dengan Cinta [saja] - Bagian Pertama

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

- Bagian Pertama -

Sambil terisak kawanku bercerita. Ia tak sanggup lagi mempertahankan rumah tangga yang ia bangun dengan cinta dan kasih sayang. Cinta yang membuat ia meninggalkan semua yang ia miliki demi hidup bersama kekasih hati yang ia yakini mampu memberikan kebahagian bagi ia dan hidupnya kelak, entah di dunia maupun kehidupan sesudah di dunia ini.

Di relung hati terdalam, sebenarnya ia masih sangat mencintai pujaan hatinya. Terutama masa depan si kecil, buah cinta mereka. Betapa ia tak tega jika kelak buah hatinya menjadi seorang anak yatim. Namun kenyataan-kenyataan yang tak mudah ia jalani membuat ia dilematis melanjutkan bahtera cintanya.

Memori ku seakan memutar kembali mesin waktu, mengingat saat-saat kawanku memenangkan cinta yang ia puja. Tak peduli orang tua, keluarga terlebih sekedar masa depan pendidikannya. Semua seperti tak berarti, yang ia percayai mampu membahagiakan hidupnya hanyalah sang kekasih hati. Sederet kekurangan sang kekasih sedikitpun tak menggoyahkan keyakinannya.

“ Aku tlah meyakini dialah cinta sejatiku. Segala konsekuensi siap aku terima, walau pahit sekalipun, “ ucapnya.

Aku seperti kehilangan kata untuk menyadarkannya bahwa saat itu perasaannya tengah melayang di negeri awan. Tak sekedar kata, berbagai upaya yang aku lakukan tak sanggup membawa kembali pikirannya ke bumi.

Kini, hampir tak berbeda dengan alasan klise para selebriti, ia meminta berpisah baik-baik dan menjalani kehidupan masing-masing, dengan sebuah alasan : lebih banyak buruknya ketimbang baiknya jika mereka melanjutkan hubungan. Beginilah akhir hubungan mereka padahal awalnya dilandasi dengan cinta mati. Si kecil, sang buah hati ikatan batin mereka, tak mampu lagi merekatkan hati dan cinta mereka.

Ia harus bersyukur karena ayah ibu yang pernah ia tinggalkan tak menyisakan amarah sedikitpun. Pintu hati dan kasih sayang mereka masih setia menopangnya. Hari ini, ia mencoba menata kembali kehidupannya, tanpa belahan jiwa lagi. Bahagia adalah pilihan. Dan ia mencoba menemukan kembali kebahagiaannya dengan menjadi ibu sekaligus ayah bagi buah hati yang tak mengerti dengan pilihan orang tuanya. Mungkin kelak sang buah hati tak pernah memahami upaya ayah ibunya mempertahankan bahtera rumah tangga mereka, sebagaimana kawanku pernah menggugat pilihan ayah ibunya untuk hidup terpisah tanpa bercerai.*

May, 2nd 2010

On 6.40 pm




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline