Lihat ke Halaman Asli

Anik SitaturRohmah

Ibu Rumah Tangga dan Penulis Lepas

Memanfaatkan Air Teh Basi dan Leri untuk Kelangsungan Hidup Kita di Bumi

Diperbarui: 11 September 2019   21:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto: Pixabay

Berbicara masalah air, ingatan saya terbawa jauh ke lautan luas yang mendominasi bumi kita. Tampak luas dan tersedia dalam jumlah yang luar biasa. 

Tergambar air tersebut akan mengalami proses daur air yang dimulai dari menguapnya air samudera ke udara, terkumpul menjadi awan dan titik-titik embun yang kemudian dibawa angin dan turun sebagai hujan. Hujan seharusnya turun membasahi tanah yang akan menyerap air dan menyuburkannya untuk menjadi media tumbuh yang bagus bagi tiap pepohonan di atasnya. Lalu pohon hijau nan rindang akan menjadi tempat bernaung, berteduh dan sumber kehidupan tiap makhluk hidup yang ada di sekitarnya. 

Air yang tak terserap oleh tanah akan mengalir mulai dari parit kecil di belakang rumah, menuju kali, terus mengalir bertemu dengan kali kecil serupa pada sebuah bengawan lalu bersama-sama pulang kembali ke samudera. Itulah teorinya.

Pada kenyataannya, mari kita lihat seberapa banyak tanah tersedia untuk menyerap hujan yang jatuh. Aspal dan beton hanya akan terus mengalirkannya ke tempat yang lebih rendah. Makin banyak aspal dan beton yang menutupi celah tanah makin besar air yang mengalir dan menjadi banjir. Keadaan ini diperparah dengan tidak dikelolanya dengan baik sampah-sampah yang ada, terutama sampah plastik.

Tentu kita masih ingat tentang kematian paus sperma yang kemudian terdampar di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara bulan November 2018. Sampah plastik seberat 6 kilogram yang ditemukan dalam perut mamalia yang dilindungi tersebut, diduga menjadi penyebab matinya paus sepanjang hampir 10 meter ini.  

Sampah plastik yang terbawa arus air menuju lautan menjadi dituding pula menjadi penyebab kematian ratusan jenis hewan laut lain di berbagai tempat seperti di Spanyol, Norwegia, dan Selandia Baru. (The Conversation). Kejadian menyedihkan ini seharusnya tidak terjadi jika kita bijak mengeloa air di sekitar kita.

Sampah-sampah yang memenuhi perairan dari sungai hingga ke lautan ini didominasi oleh sampah rumah tangga. Sampah terbesar dihasilkan oleh kota besar seperti Jakarta. Artinya tiap kita anggota dari rumah tangga di wilayah Jakarta khususnya dan di wilayah manapun yang menyokong tumpukan sampah, seharusnya bertanggung jawab atas kerusakan air tersebut. 

Ironis memang, air yang sangat kita butuhkan dalam kehidupan kita, yang memenuhi 70% dari badan kita, kita rusak sendiri dengan perlakuan yang semena-mena.

Cobalah kita ingat, sebagai warga kota Jakarta, atau sebagai warga negara Infonesia diamanapun berada. Seberapa sering kita lupa mematikan kran kamar mandi, lupa matikan mesin pompa air sehingga tempat penampungan penuh dan air tumpah kemana-mana dan menjadi sia-sia. 

Seberapa banyak kita menuang bubuk detergen pada cucian baju sehingga butuh berulang kali dibilas dengan air bersih supaya baju bersih dari kotoran dan sabun. Padahal jika kita sedikit lebih bijak, akan lebih banyak air yang kita hemat, akan lebih bersih air yang nantinya kita konsumsi dari pencemaran sampah rumah tangga. Dan kita, akan hidup lebih sehat dan lebih lama tinggal di bumi ini karena panjangnya usia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline