Lihat ke Halaman Asli

Prakasita Nindyaswari

TERVERIFIKASI

Gula Jawa

Yuk, Menghargai Pekerja Seni Tradisional!

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13500470741385464608

[caption id="attachment_217700" align="aligncenter" width="452" caption="dok: Antara"][/caption]

Percaya enggak kalau setiap orang ketika dilahirkan itu udah punya sesuatu yang spesial? Contoh simpelnya, ada yang pernah denger kalimat: "born to be a leader" ? Dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Artinya, dia (siapapun), dari lahir sudah diberi 'mandat' dari Tuhan bahwa dia kelak akan menjadi pemimpin. Menjadi pemimpin itu bukan serta merta semua orang bisa menjadi pemimpin. Banyak yang bilang, semuanya bisa jadi pemimpin, asal... rajin belajar, supaya berwawasan luas lah, rajin ikut organisasi lah, dan blablablabla. Itu sih kalau menurut saya kriteria dasarnya aja. Nyatanya, enggak semua orang yang rajin belajar, udah ikut segudang organisasi, pinter banget dengan IP cum laude bisa jadi pemimpin kan? Itu lah kenapa bisa ada kata-kata: "born to be a leader". Hanya orang-orang yang terpilih oleh Tuhan lah (menurut saya) yang bisa menjadi pemimpin. Karena ya itu dia, dari lahir dia sudah diberikan 'mandat'.

Perumpamaan lainnya, "born to be a dancer" misalnya. Enggak semua orang bisa jadi penari. Well, semua orang bisa aja nari, dan hanya nari, bukan seorang penari. Mengekspresikan sebuah seni melalui gerak tubuh yang mempesona, ekspresi yang bisa menggambarkan sebuah alur cerita, yang bisa membuat para penikmat seni dan penonton awam sekalipun terkesima oleh penampilannya. Dan, enggak semua orang bisa melakoni hal seperti itu. Dia (siapapun itu), ketika lahir, sudah diberikan 'mandat' oleh Tuhan, untuk menjadi seseorang yang bisa menghibur orang lain melalu seni olah tubuh. Dan Tuhan memberikannya modal untuk itu. Sayangnya, masih banyak orang yang kesannya memicingkan mata atas profesi semacam itu. Padahal, sama aja kayak pendidikan lainnya, mesti menempuh pendidikan yang sama (hanya beda bidang), bahkan membutuhkan skill khusus. Percaya atau enggak, para penari (khususnya penari tradisional), banyak yang kentar-kentir dalam mencari uang untuk menghidupi keluarganya, karena yang mereka dapatkan masih kurang dari yang disebut dengan 'layak'.

Sebenarnya, tidak hanya penari tradisional lah yang mengalami kehidupan yang kentar-kentir, tapi juga pekerja seni lainnya. Coba saja lirik orang-orang yang memang mendedikasikan hidupnya hanya untuk seni, kehidupan mereka membuat saya terhenyak bahwa mereka seharusnya mendapatkan sesuatu yang lebih layak dari yang mereka dapatkan sekarang. Seni disini seni tradisional ya. Berbeda dengan seni modern yang dapat dengan mudah menarik perhatian masyarakat umum yang justru seringkali saya lihat sih, nilai seninya biasa-biasa aja, bahkan enggak memenuhi kriteria apa yang disebut dengan seni. Aneh ya negara kita, orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk menjaga dan melestarikan seni tradisional negara kita sendiri tidak mendapatkan kelayakan seperti halnya seni modern.

Menjadi seorang pekerja seni, memang finansial bukan berada di posisi nomor satu, tapi yang sangat mereka inginkan adalah apresiasi atau pengakuan. Tapi enggak munafik juga bahwa dalam hidup ini, semuanya membutuhkan uang. Memang kelihatannya keren ya, tampil di luar negeri, menampilkan seni budaya bangsa di depan masyarakat internasional. Bangga memang. Senang itu sudah pasti. Tapi balik lagi, sekembalinya mereka kemari, urusan membiayai kebutuhan keluarga dan tetek bengeknya lah yang jadi persoalan lagi.

Saya cukup kaget ketika mendengar cerita salah satu teman saya, yang memang mendedikasikan hidupnya hanya untuk seni. Dia bercerita kepada saya, bahwa dalam sekali pertunjukan, dia hanya dibayar 300 Ribu. Padahal itu pertunjukan besar lho, dengan harga tiket yang dijual cukup lumayan juga. Kalau mengajar, setiap kali mengajar digaji 75 ribu Rupiah. Satu bulan dari dia mengajar ya hanya mendapatkan 600 ribu Rupiah. Tawaran pekerjaan di luar mengajar ya bisa dihitung dengan jari. Tergantung lagi ramai event atau enggak. Kalau sepi ya dalam sebulan benar-benar seret. Tapi kalau lagi ramai ya satu bulan bisa lah dapat total akumulasi kurang lebih 3-4 juta (kalau banyak diundang acara kawinan, karena acara kawinan upahnya lebih mayan daripada dapet dari acara dari pemerintah). Kalau dari pemerintah (misalnya) ke luar negeri, memang segala-galanya gratis, tapi 'take home salary' nya tuh ya... seret.

Mangkanya, saya disini ingin bilang, bahwa ayo lah, apresiasi dengan baik para pekerja seni tradisional. Bukannya saya enggak peduli dengan pekerja seni non-tradisional ya, karena kehidupan pekerja seni non-tradisional itu mayoritas 'wooowwww' banget. Jangan membedakan atau memicingkan sebelah mata para pekerja seni tradisional, karena mereka pun untuk bisa mempelajari dan bisa dikatakan 'layak tampil' itu perlu proses yang puanjang. Belum lagi dibutuhkan ide dan kreativitas juga kan tiap kali tampil. Dan sedihnya lagi, banyak yang tidak memperhatikan para pekerja seni tradisional jikalau mereka beranjak tua. Kenapa profesi seniman masih ada yang menganggap profesi ecek-ecek dibanding profesi pebisnis, politikus, direktur, atau profesi-profesi yang menuntut kemampuan akademis yang mumpuni? Mangkanya, enggak heran kan, banyak seniman-seniman tradisional yang ketika mereka beranjak tua, kehidupan mereka jauh dari kata layak. Yang tersisa tinggal album-album foto kenangan mereka sewaktu mereka membuat orang-orang tersenyum dengan penampilan mereka. Giliran mereka butuh untuk dibuat tersenyum, pada kemana? :(

Salam,

Sita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline