[caption id="" align="alignnone" width="292" caption="Maksudnya Gambar Gubug dan Sawah Rangkat ( Oleh Edi Siswoyo )"][/caption]
Sudah satu jam setengah sepulang sekolah, aku terduduk di sebuah Gubug reot di pesawahan desa Rangkat, tempat yang tanpa sadar akhirnya menjadi salah satu tempat favoritku, selain tercenung dipinggir kali, menumpak batang Pohon Waru nan rindang, batangnya doyong ngeluyur keatas kali yang air putihnya gemericik, sekali-kali keruh menguning kecoklat-coklatan karena terwarna tanah dari hulu Gunung.
Sekali dua kali dulu, aku sering berangkat ke gubug reot itu dengan bersungut-sungut, bahkan seplastik makanan kecil yang Ibu bungkus untuk menemaniku melakukan pekerjaan remeh-temeh itu sering sengaja aku tinggalkan sebagai bentuk protes kecil agar Ibu tak selalu menyuruhku.
Menjengkelkan kala itu, menarik tali rafia yang dihubungkan dengan jelaga dari bambu atau kayu jati muda diatasnya tergantung kaleng-kaleng bekas, kalau ditarik bunyinya akan mengagetkan koloni-koloni Burung Pipit yang bergerilya di petak-petak tanaman padi Ibuku. "Klontang... klontang... klontang..." ya pekerjaan free-lance bagi anak kampung selain menjadi pelajar SMP, adalah mengusir burung bukan menjaga burung.
Lama kelamaan aku menikmati pekerjaan free-lance yang ibu berikan. Ternyata menikmati kacang tanah rebus berpolong tiga, sembari mendengarkan lagu - lagu Pop Sunda dari Radio Siaran Pedesaan Rangkat itu sangat asyik sekali. Seraya hembusan angin yang tak henti mengusap -usap rambut ikal mie instanku. Suara Teh Nining Meida yang berduet dengan Mang Adang Cengos semakin mendayu - dayu.
Gubug ilalang reot yang sempoyongan didorong - dorong canda angin kian kanan kian kiri seperti sedang mengikuti dentang - denting kecapi yang mendominasi reffense lagu Potret Manehna. Aku ikut larut sesakali berdendang, "Potreeeet...manehnaaaa...Potreeeet...manehnaaaa..." malu sekali otot dileherku sampai tertegang - tegang, kupada-padakan dendanganku mengikuti cengkok khas sinden sunda, dari Biduan pop sunda yang termashyur seantero parahyangan ini. Padahal suaraku fals tak karuan, tak peduli kuikuti saja lengkingan suara menyentuh oktaf tertinggi dan jatuh lagi menukik ke oktaf terendah, berkelok -kelok. Walhasil ngos-ngosan, tersedak - sedak dan keteranlah aku.
Gubug reot ini juga kadang berubah fugsi menjadi mimbar diskusi bebas dengan panelis angin dan gemerusuk gesekan daun - daun padi. Kadang gubug reot ini menjadi ring arena tinju bebas. Aku dan uleng sering memperebutkan ubi bakar terakhir, biasanya setelah ubi yang diperebutkan hancur berantakan kami terbahak bersama.
Kadang saung beratap ilalang, menjadi seperti rumah sastrawan dan filsuf besar, dengan angin yang berdesir, irama ajaib dari aduan biji - biji padi yang semakin berisi, selalu memberiku inspirasi lebih untuk menggubah puisi tentang pemujaan dan harapan.
kesenyapan gubug reot ini kadang bak gua indrakila di perut gunung srandil yang sepi senyap sangat, tempat Raden janoko tenang bertapa, untuk menerima wahyu jendrahayuningrat.
Aku pernah sukses membuat beberapa puisi dan sajak dari gubug reot ini, dan beberapanya pernah aku kirimkan ke surat kabar dan majalah nasional terbesar, walhasil aku sering mendapatkan kiriman amplop tebal dari redaktur yang berisi puisi dan sajaku yang dikembalikan, disertai surat permohonan maaf karyaku belum layak untuk dimasukan dalam salah satu rubrik diharian tersebut.
Ah, tapi aku tak pernah berhenti untuk menulis, setidaknya karya sajaku yang berjudul "Lantunan Mahabah Untuk Sang Mawar" pernah diapresiasi besar-besaran disekolah dan diganjar dengan hadiah satu lusin buku tulis pada saat lomba dalam rangka memperingati Hari kemerdekaan Nasional. That's Enough For Me, bagiku aku sudah siap jiwa raga untuk melanjutkan tongkat estafet Almarhum Willibrordus Surendra "Si Burung Merak" Bawana Rendra, dan Kahlil Gibran. berlebihan mungkin...?