Lihat ke Halaman Asli

Jangan Biarkan “Tragedi” Pak Jokowi Terulang pada Kang Emil

Diperbarui: 1 Februari 2016   12:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Sumber: megapolitan.kompas.com)"][/caption]Bapak Ridwan Kamil, sang wali kota berprestasi itu, dikabarkan tengah galau untuk memutuskan apakah akan mencalonkan diri sebagai calon gubernur DKI. Beliau menyatakan sedang mempertimbangkan apakah akan maju sebagai cagub DKI pada 2017 atau tidak. Salah satu hal penting yang menjadi pertimbangannya adalah masa jabatannya sebagai walikota masih tersisa hingga 2018.

Melihat fenomena galaunya Kang Emil (sebutan akrab untuk Pak Ridwan Kamil), saya teringat masa awal kemunculan Pak Joko Widodo sebagai calon gubernur DKI dari PDIP. Kejadiannya sama persis, bedanya saat itu Pak Jokowi sedang di periode keduanya sebagai walikota di Solo. Beliau juga wali kota yang berprestasi, Pilkada di Solo telah membuktikannya, di mana beliau menang hingga 90% suara. Berbeda dengan Kang Emil, Pak Jokowi mantap berpasangan dengan Pak Ahok untuk maju di pilgub DKI dan berhadapan dengan incumbent saat itu, Pak Foke. Sisa ceritanya, kita semua tahu. Pak Jokowi menang di pilgub dan karir beliau melesat cepat hingga terpilih menjadi presiden RI, hanya 2 tahun setelah menang di pilgub DKI.

Di balik melesatnya karir Jokowi di kancah perpolitikan nasional, kita lupa, bahwa Pak Jokowi yang saat awal kemunculannya sebagai cagub DKI semua orang mengelu-elukannya, kini jumlah haters beliau boleh kita katakan cukup signifikan. Pendukung beliau boleh berkata bahwa haters beliau adalah barisan sakit hati yang jagonya kalah pilpres. Tapi ingat, negara kita juga pernah mengalami duel head to head saat pilpres, ya, ketika Pak SBY melawan Bu Mega di putaran kedua pilpres 2004. Tapi setelah pilpres, tidak ada lagi perpecahan yang berlarut seperti sekarang. Nampaknya ada sesuatu yang kurang beres dengan perpecahan setelah pilpres 2014 ini.

Salah satu penyebab kemunculan haters pak Jokowi, menurut saya, adalah beliau terlalu cepat dalam melesat. Baru dua tahun menjadi gubernur, beliau langsung mencalonkan diri menjadi presiden. Ditambah lagi pernyataan beliau sebelum resmi menjadi capres, bahwa beliau menyatakan tidak memikirkan soal menjadi capres. Saya rasa, keputusan pak Jokowi nyapres di saat masa jabatannya belum selesai akhirnya merupakan benih tumbuhnya haters.

Kini, menjelang pilkada DKI 2017, semacam deja vu telah terjadi pada Kang Emil. Sebagai wali kota berprestasi, tentu banyak partai yang berminat menjagokan beliau sebagai cagub. Apalagi partai-partai tersebut menghadapi lawan yang cukup susah, Pak Ahok. Dengan mendorong Kang Emil menjadi cagub DKI, setidaknya parpol di DKI berharap Pak Ahok mendapatkan lawan yang sepadan. Walaupun menurut survei, elektabilitas Kang Emil masih jauh di bawah Pak Ahok, tapi parpol yakin bahwa perlahan elektabilitas Kang Emil akan naik. Persis seperti saat Pak Jokowi dijagokan untuk melawan Pak Foke bukan?

Tapi, jika Kang Emil akhirnya maju menjadi cagub DKI, bagi saya itu tidak lain adalah sebuah tragedi. Ternyata krisis kepemimpinan negara ini sedemikian parahnya, hingga harus “mengoper”  dan “mengkarbit” pemimpin. Dulu pak Jokowi, sekarang Kang Emil. Sebelumnya kita sering mendengar juga Bbu Risma dihubungkan dengan Pilkada DKI. Hal ini juga menunjukkan kegagalan kaderisasi di partai politik. Partai seakan telah mandul dalam melahirkan kader-kadernya untuk menjadi pemimpin. Terbukti, tidak ada partai di DKI yang optimis dengan kadernya sendiri.

Menurut saya, jika benar Kang Emil maju di tahun 2017, akan menjadi buah simalakama bagi Kang Emil sendiri. Jika menang, akan tumbuh dan berkembang para haters beliau, sedangkan jika kalah, popularitas beliau sebagai pemimpin yang berprestasi akan memudar, tergerus berita kekalahannya dari Pak Ahok. Karena figur pak Ahok sendiri kini sudah begitu kuat di DKI, tidak ada lagi yang mempersoalkan SARA. Kita tahu bahwa semakin ke sini, masyarakat Indonesia semakin rasional dalam menentukan pilihan, tidak terpaku lagi pada isu SARA. Contoh nyata adalah kemenangan FX. Rudy (wakil wali kota saat pak Jokowi masih di Solo) sebagai Wali Kota Solo.

Pada akhirnya semua keputusan ada di tangan Kang Emil, apakah beliau akan mantap menjadi cagub ataukah mantap untuk membangun Bandung. Dan kita hanya berdoa semoga Kang Emil diberikan petunjuk untuk memilih keputusan yang tepat. Amiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline