Menjelang lulus SMA, permintaan orang tua untuk anaknya mendapatkan kursi di Perguruan Tinggi Negeri. Mengingat usia sang tulang punggung keluarga tak muda lagi. Pendapatan yang tak kunjung bertambah harus bisa mengimbangi berbagai kebutuhan yang harganya terus melambung setiap tahun. Belum lagi kebutuhan-kebutuhan baru dari tuntutan keadaan.
Saya masih ingat, selentingan perkataan yang terucap, "Lebih baik tak kuliah kalau gak masuk negeri." Cukup menyakitkan. Entah memang dari isi hati yang paling dalam atau mungkin hanya sekadar memotivasi sang anak agar berusaha sampai akhir mendapatkan kampus negeri.
Banyak orang yang berusaha keras mendapatkan PTN yang diimpikannya, bukan karena perkara gengsi masuk swasta atau mendambakan menjadi mahasiswa di kampus negeri yang favorit. Justru saat ini banyak sekali kampus swasta yang layak dan telah terakreditasi.
Tujuannya hanya satu. Mencari biaya pendidikan yang paling murah. Apalagi sejak SD sampai SMA sudah terbiasa dengan sistem di sekolah negeri yang serba gratis berkat program dari pemerintah.
Jika harus masuk ke kampus swasta, biaya-biaya perkuliahan lebih beragam dan begitu rinci. Namun mencekik kepala keluarga yang bekerja sebagai PNS daerah dengan gaji yang pas-pasan dengan UMR.
"Mau di manapun, yang penting masuk kampus negeri". Prinsip itu yang sering dipegang oleh orang tua dan anak yang hidup dengan gaji UMR. Tentunya dengan harapan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang sesuai dengan pemasukan keluarga.
Nampaknya, di tahun 2024 ini, harapan mengeyam pendidikan di kampus negeri agar mendapatkan UKT yang lebih murah harus pupus begitu saja. Kenaikan UKT pada setiap kampus negeri mengugurkan harapan anak bangsa yang ingin melanjutkan pendidikannya sampai berhasil mendapatkan gelar Sarjana.
Bisa kita saksikan, hampir setiap hari halaman Gedung Rektorat di berbagai perguruan tinggi negeri dipadati oleh mahasiswa dan calon mahasiswa yang melakukan aksi protes besar-besaran. Khususnya calon mahasiswa yang sudah dinyatakan diterima lewat jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) seperti mendapatkan mimpi buruk melihat nominal UKT yang harus mereka tanggung.
Aksi protes yang didominasi oleh mahasiswa ini, tak jarang malah berakhir dengan ancaman dari pihak kampusnya sendiri. Padahal, mahasiswa melakukan aksi protes untuk meminta pihak kampus berpihak kepada mereka. Justru mahasiswa malah mendapatkan ancaman sampai dilaporkan ke pihak kepolisian.
Polemik pendidikan yang sedang dihadapi oleh negeri ini, semakin meluas dan merambah pada bidang lainnya. Tidak hanya hak pendidikan setiap anak bangsa yang dirampas, tetapi kini hak bersuara juga hilang karena adanya ancaman-ancaman yang menuntut semua peserta aksi bungkam.