Lihat ke Halaman Asli

Siska Fajarrany

TERVERIFIKASI

Lecturer, Writer

Nasihat Ibu Peri di Kereta Api

Diperbarui: 19 April 2024   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi penampakan suasana di gerbong kereta api. (Dok. KAI via kompas.com)

Dulu sewaktu kecil, setiap anak perempuan gemar bermain peran ibu peri. Sekelompok anak perempuan beradegan layaknya putri Cinderella yang beruntung bertemu dengan Ibu Peri baik hati yang dapat mengabulkan semua permintaan.

Mungkin sebagian anak-anak berasumsi bahwa kisah Ibu Peri nyata adanya. Berharap setiap terbangun dari tidur, melihat Ibu Peri duduk di sampingnya sembari mengelus rambutnya yang terurai panjang.

Imajinasi itu terhenti ketika sang anak bermetamorfosis menjadi ABG. Hidup dengan penuh semangat untuk melewati hari-hari indah di sekolah. Bermain, belajar, dan seterusnya mayoritas bermain.

Saat dewasa, dongeng Ibu Peri bagai sebuah karangan yang penuh tipuan. Mendidik anak sedari kecil bahwa akan selalu ada malaikat penolong dalam masalah hidup. Padahal kenyataannya, orang dewasa dituntut untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Sekalipun bukan ia yang menanam akar permasalahan itu.

Arus mudik lebaran mempertemukan aku dengan sosok yang ku sebut sebagai Ibu Peri. Meski tampilannya tidak seperti Ibu Peri dalam dongeng pengantar tidur, aku melabelkannya sebagai Ibu Peri yang dikirimkan Tuhan padaku.

Siang itu, aku memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Surabaya. Tujuannya bukan untuk mudik ke kampung halaman. Justru aku bermaksud untuk menghindari kampung halaman.

Menghindari pertanyaan-pertanyaan yang dimulai dengan kalimat tanya kapan. Daripada merusak kesehatan mentalku, lebih baik aku benar-benar membentengi diri untuk tidak bertegur sapa dengan mulut-mulut tidak beradab itu.

Suasana kereta api tidak terlalu padat. Entah mungkin karena aku berada di gerbong paling belakang atau memang Surabaya sudah dibanjiri oleh para pendatang. Membuat kereta api ini sepi penumpang menuju kota itu.

Aku sudah mengabari teman di sana. Sudah dua tahun ia merantau di Surabaya. Sudah dua tahun pula ia tidak pernah pulang ke kampung halaman. Kami sama-sama punya kesamaan. Sama-sama kesepian. Dan itu membuat aku ingin menengoknya meski hanya sebentar saja. Minimalnya, dapat saling menemani di momentum lebaran tahun ini.

Ku pesan bangku yang paling dekat dengan jendela. Berharap bangku di samping tidak ada yang menempati. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline