Pernah mengalami fase mendapatkan pertanyaan 'kapan menikah' ? Atau mungkin malah kamu yang sering menanyakan pertanyaan itu kepada orang lain?
Pertanyaan kapan menikah biasanya sering ditanyakan di pertemuan keluarga atau acara reunian. Perkumpulan itu biasanya sebagai ajang membandingkan kesuksesan satu sama lain.
Misalnya cucu pertama sudah mendapatkan pekerjaan oke dan tinggal di luar negeri. Sedangkan cucu kedua sedang menjalani kuliah S3 di luar negeri dengan full beasiswa. Ada pula yang menunjukkan kemesraan dengan keluarga kecilnya. Seolah ingin menunjukkan bahwa mereka adalah keluarga yang harmonis.
Begitu pula saat reunian dengan teman saat sekolah dulu. Pertanyaan pertama tak jauh dari masalah pekerjaan. Bekerja di mana, berapa lama, dan penempatan di mana. Tak mau kalah, satu per satu akan memberikan informasi terkait pencapaian kariernya selama ini.
Pertanyaan kedua biasanya seputar keluarga. Menanyakan istri atau suami. Pekerjaan pasangan masing-masing apa, dan sudah memiliki anak berapa beserta usianya berapa.
Nah, lain halnya bagi yang tak kunjung terlihat ada rambu-rambu untuk menikah. Biasanya akan menjadi bahan ledekan dengan ucapan usil, "Gak capek sendiri mulu?" atau "Enak tahu kalau bobo ada yang nemenin".
Bagi beberapa pihak, mungkin pertanyaan terkait pernikahan bukanlah hal yang sensitif. Biasanya memasang muka tertawa sambil bertutur dengan candaan.
Namun yang perlu diingat, ada beberapa pihak yang menganggap bahwa pertanyaan terkait kapan menikah adalah hal yang sangat sensitif. Tak jarang setelah itu, ia jadi begitu enggan untuk ikut di acara kumpulan keluarga ataupun reunian bersama teman-temannya.
Sebenarnya, jika melihat dari sisi si penanya, kita bisa berpikir positif. Dalam artian si penanya memang menaruh simpati. Menunjukkan rasa kepeduliannya selaku saudara atau teman.
Lain halnya kalau pertanyaan itu dilontarkan hanya untuk bahan candaan apalagi dengan ucapan-ucapan yang tidak mengenakan. Seperti cap 'tidak laku' atau lebih parahnya lagi 'perjaka/perawan/gadis lapuk'.