Lihat ke Halaman Asli

Sistem Televisi Berjaringan Sekedar Mimpi

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perkembangan industri pertelevisian di Indonesia, menjadi pesat pasca masa orde baru 1998. Televisi menjadi sebuah media yang “hidup” ditengah-tengah masyarakat yang heterogen. Karena dinilai mampu menjangkau segala lapisan masyarakat, siapa saat ini yang tidak pernah nonton tivi? Namun ditengah keberadaannya yang mampu merangkul segala kalangan ini, televisi tidak lagi menjadi cerminan masyarakat secara keseluruhan. Hegemoni tayangan televisi melahirkan sebuah kebiasan, baik dari segi kultur, nilai, dan cara pandang. Tayangan yang disuguhkan setiap hari hampir pada konsep yang sama. Bahkan kontruksi sebuah realitapun dibungkus ala Jakarta. Buktinya, berita-berita yang kita tonton setiap hari, walaupun berita daerah, anglenya ala “pesanan” orang Jakarta. Sebuah contoh kasus misalnya, wartawan A meliput demo mahasiswa, ketika demo itu berjalan lancar, maka kemungkinan liputannya tidak tayang. Tapi ketika demo itu berujung bentrok, maka ramai-ramai stasiun TV nasional serempak menayangkan, dengan alasan bahwa begitulah realitanya. Padahal jika mau kritis, realita mana yang dimaksud? Realita bahwa sebenarnya kota B suka bentrok kalau demo?

Begitupun dengan tayangan program lainnya, yang dilihat itu-itu saja. Contoh: si C berperan sebagai pemain sinetron di stasiun TV X, kemudian dia menjadi pembawa acara di stasiun TV Y, eh...nongol lagi di stasiun TV Y jadi penyanyi. Apakah orang indonesia juga itu-itu saja?. Belum lagi acara musik yang serempak dan menjamur distasiun TV. Satu konsep, hanya host saja yang diganti. Ada berbagai macam contoh kasus dalam penerepan konsep diversity of content. Keberagaman isi siaran yang diharapkan mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat luas, nampaknya belum tercium dalam dunia penyiaran televisi

Dalam negara demokratis bernama Indonesia, pencapaian sebuah demokratisai penyiaran adalah sebuah keniscayaan. Sayangnya, lembaga penyiaran sebagai ranah publik kini mulai ditunggangi oleh berbagai kepentingan tidak murni. Mengapa dikatakan tidak murni? Karena dalam hal ini pemilik modal adalah pemegang “nyawa” dalam industri pertelevian. Tak ubahnya pada masa orde baru, media ketika itu menjadi ‘tanganpanjang’ pemerintahan. Kini, tanganpanjang itu diambil alih oleh pemodal. Tidak bisa dipungkiri, sebagai sebuah industri, televisi menjadi pasar yang potensial dalam pegerukan ekonomi. Jika kita bicara iklan yang tayang di televisi, berapa puluh juta yang akan kembali kekantong pemodal. Bahkan bisnis media televisi bisa dikatakan sangat menjanjikan. Walaupun butuh modal yang besar diawal rintisnya, namun perjalanan ekonominya bak sungai nil yang tak pernah kering. Namun sayang, kepemilikan modal dalam industri ini, tidak bisa menyebar dan dinikmati oleh masyarakat lain di daerah. Lagi-lagi Jakarta menjadi pusat pengerukan ekonomi. Kue iklan dan saham menjadi tidak merata di daerah-daerah. Disinilah konsep dasar diversity of ownership dituntut dalam pencapaian demokratisasi penyiaran. Dimana dengan keberagaman kepemilikan yang diterapkan, maka pemerataan ekonomi akan mudah tercapai. Angka penganguran dan kemiskinanpun bisa diminimalisir. Pemerintah tak perlu repot-repot lagi memikirkan penangulangan masalah terberat sepanjang zaman ini.

Terpenuhinya konsep diversity of ownership dan diversity of content menjadi sebuah jalan terang menuju demokratisasi penyiaran. Seperti yang tertuang dalam amanat UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran, pencapaiannya akan mudah dengan adanya pemberlakuan Sistem Televisi Berjaringan (STB). Namun rupanya tak semudah pemerintah menuliskan regulasi ini dalam hitam diatas putih. Kebijakan soal STB mengalami kemunduran hingga hampir tujuh tahun. Jika ditanya, mengapa hal ini bisa terjadi? maka jawabannya bisa datang dari berbagai sumber. Pemerintah sendiri, merasa bahwa regulasi soal STB sudah jelas, bahkan sampai jelasnya kebijakan ini beberapa kali direvisi melalui PP (No.50/2005) maupun PerMen Kominfo (No.43/2009). Pasca perubahan menteri sekalipun, dalam acara salah satu stasiun TV nasional yang membahas kinerja Menkominfo dalam 100 hari pemrintahan SBY-Boediono, Tifatul Sembiring menilai regulasi ini Inkonsisten. Entah, apa maksud inkonsistensi itu? Pertanyaannya kemudian, kapan regulasi ini akan konsisten dalam penerapannya?.

Jika menilik dari segi para investor, hal ini sesuatu yang sulit, berbagi kue investasi dengan orang lokal daerah, bagai menanam jagung di padang pasir. Orientasi ekonomi dalam pasar industri yang strategis ini menjadi perhitungan yang mendasar. Kemudian dari segi pofesionalisme dan kelas pekerja, sebagai sumber daya manusia lokal yang menjadi “motor” dalam STB. Kapasitas dan kapabilitas mereka harus teruji. Kemandirian dalam melihat persaingan kerja sehingga mereka dapat disejajarkan dengan orang-orang setingkat nasional. Sedangkan disisi lain dan paling mendasar adalah kesadaran publik akan hak-haknya sebagai warga negara. Karena ketika kita sudah mulai mewacanakan STB ini, maka ranah publik yang telah “dijarah” selama ini. Harus mereka perjuangkan melalui dukungannya terhadap implementasi STB.

Mengelaborasikan semua elemen dalam sebuah kebijakan adalah langkah konkret dalam pencapaian demokratisasi penyiaran. Masalah implementasi STB memang telah menjadi kompleks. Akankah STB ini hanya sekedar mimpi?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline