Lihat ke Halaman Asli

SISKA ARTATI

TERVERIFIKASI

Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Putus Sekolah Tapi Tak Pupus Meraih Cita

Diperbarui: 5 Mei 2023   12:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gambar: radarbromo.jawapos.com

Setiap warga negara di negeri kita tercinta, memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak sejak usia pra-sekolah hingga perguruan tinggi.

Namun tidak semua anak mendapatkan hak tersebut dengan berbagai alasan yang mengemuka di keluarga masing-masing. Sering kita dengar karena alasan ekonomi, jarak sekolah yang cukup jauh, biaya penyerta dalam kegiatan belajar mengajar, dan lain sebagainya.

Kalaupun mereka sempat mengenyam pendidikan dasar, bersyukur bisa menyelesaikan hingga mendapatkan ijazah. Namun ada pula yang akhirnya harus berhenti di tengah jalan alias putus sekolah.

Sebagaimana yang dilansir oleh Institut Pertanian Bogor melalui web Scientific Repository-nya bahwa anak putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami keterlantaran karena sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak tanpa memperhatikan hak–hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Dalam artikel ini, saya ingin berbagi kisah orang-orang yang pernah mengalami putus sekolah di masa usia anak dan remaja, serta bagaimana mereka berusaha bangkit agar tetap mandiri demi kelangsungan hidupnya.

***

Kisah pertama, semasa saya mengenyam di bangku kelas tiga sekolah dasar, ada seorang siswa -- sebut saja namanya Ana, sering mengoceh sendiri saat pelajaran berlangsung. Bapak atau Ibu Guru sering menegurnya, baik secara halus maupun sedikit bersuara keras agar dia memperhatikan penjelasan.

Usianya terpaut tiga atau empat tahun di atas saya yang seharusnya telah berada di kelas 6.

Menurut yang saya dengar dari kawan-kawan, Ana telah dua kali tidak naik kelas. Semasa kelas satu, ia tidak naik kelas. Tahun berikutnya ia berhasil lulus naik ke kelas dua. Bersyukur, selabjutnya Ana berhasil naik ke kelas tiga, itupun dengan nilai yang sangat pas-pasan untuk ukuran standar sekolah saat itu.

Sayangnya, Ana kembali tinggal kelas. Ia tidak naik ke kelas empat di tahun berikutnya. Saat itulah ia satu kelas dengan saya. Selama berkegiatan belajar mengajar, Ana mengalami gangguan konsentrasi belajar, sering meracau sendiri dan menjadi bahan godaan teman-teman dengan kebiasan latahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline