Sejak awal pekan liburan sekolah, saya telah merencanakan mengajak NakDis berkunjung ke Museum Samarinda. Sudah lama saya berminat dan berniat ke sana. Bahkan saya mengajak sahabat dan anak-anaknya. Namun mereka mengonfirmasi tidak bisa hadir, bertepatan dengan acara latihan gladi bersih untuk penampilan Hari Ibu.
Akhirnya, pada Rabu (21/12/2022) pagi, dengan berkendara ojek mobil, meluncurlah kami berdua menuju museum yang berada di pusat kota, tepatnya di Jalan Bhayangkara no.1 Samarinda.
Awal saya tahu adanya museum ini adalah unggahan artikel Pak Riduannor, sesama Kompasianer. Itulah awal mula saya mengenal beliau dari tulisannya dan tertarik untuk menyaksikan langsung koleksi museum.
Tepat pukul sembilan pagi, saya dan Nakdis tiba di sana. Sebelum masuk ke gedung museum, saya mengabadikan Miniatur Rumah Panggung dengan ornamen Dayak yang ada di halaman depan gerbang museum.
Mengingatkan saya pada Lamin Etam (Rumah Kita) yang ada di Desa Budaya Adat Pampang di Sungai Siring, Kecamatan Samarinda utara yang pernah saya kunjungi.
Baca juga: Kalimantan Timur, Uniknya Takkan Luntur
Gedung Museum Samarinda sangat besar dan megah. Kami berdua menaiki anak tangga yang lumayan terjal. Bentuk bagunannya melebar, mengambil dari filosofi dari rumah adat dayak yang disebut Lamin.
Petugas museum menyambut kami dengan ramah dan mempersilakan untuk mengisi buku tamu. Tidak dipungut biaya dan boleh langsung melihat-lihat koleksi museum.
Saya bertanya kepada petugas, apakah kami bisa ditemani oleh pemandu untuk mendapatkan penjelasan selama tour di dalam museum. Ternyata ada dan tanpa biaya juga. Namun bila pengunjung ingin memberikan tip, bisa mengisi tips box yang disediakan, terserah berapa saja, sukarela.
Saya dan NakDis kompak mengisi dengan uang yang telah kami siapkan.