Perkampungan sederhana di perbatasan dusun terkesan sunyi berselimut kabut tipis. Hawa dingin melingkupi para penghuni. Lampu templek dan petromak yang meredup, tampak menari kecil di balik dinding kayu rumah-rumah warga.
Pada satu sudut rumah, seorang ibu berusia separuh abad tengah bersibuk diri menyiapkan perapian. Tungku telah disiapkan, berikut alat masak, bumbu dan lauk yang akan segera menjadi panganan sarapan pagi. Padahal jam masih menunjukkan waktu dini hari.
“Emak masak apa? Bisa kubantu?” Pemuda berparas bagus mendekatinya.
"Lho, sudah bangun, Le?" Emak terkejut mendengar sapaan anak lelaki semata wayang.
"Terbangun karena bunyi klemethik kayu bakar, Mak. Tadi sekalian ambil wudhu dan sholat tahajud sebentar," Pemuda itu duduk di atas dingklik kayu sembari meniup api tungku agar terus menyala.
Ruang dapur berdinding gedhek, berukuran seadanya, terasa hangat dengan perapian.
“Ini, Emak masak ikan patin kuah kuning, terus mau nggoreng tahu tempe, sama nanti bikin sambal tomat kesukaan Abah,” sahutnya.
“Alhamdulillah. Mantab pasti rasanya," senyum pemuda itu mengembang, membayangkan sedapnya masakan dari tangan Emak.
“Eh, Mak, calon istriku kayaknya gak bisa masak, lho”.
“Iya, terus kenapa?” Sahut Emak sembari mengiris tempe dan tahu.