Lihat ke Halaman Asli

SISKA ARTATI

TERVERIFIKASI

Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

100 Keping Koin MangPe, Salam Tempel dalam Balutan Dompet Plastik Toko Emas

Diperbarui: 9 Mei 2021   18:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setumpuk koin (ilustrasi gambar: tirto.id)

Waaaaah, begitu ada topik pilihan SALAM TEMPEL, saya langsung teringat kenangan yang sungguh takkan pernah saya lupakan. Salam tempel lebaran yang membuat saya berasa 'kaya mendadak'.

Masa kecil yang menyenangkan, sebagai anak bungsu yang berlimpah perhatian. Pun saat lebaran, ada saja kado berhampiran menyapa saya. Entah dari kawan ayah, sahabat ibu, juga tante, oom, pakde, bude dan pastinya dari Mbah Putri, ibu dari ayah saya.

Saat itu kami sekeluarga tinggal di desa industri Pabrik Gula. Keluarga besar ayah berada di ibukota Jawa Tengah. Sudah pasti setiap lebaran pada hari kedua atau ketiga, kami bersilaturahim ke rumah Mbah Putri, tempat berkumpul seluruh saudara ayah, ipar beliau dan pastinya saya bertemu dengan sepupu-sepupu.

Suka cita dan kegembiraan terpancar dari wajah-wajah keluarga eyang. Tradisi sungkeman kepada beliau pun turut memeriahkan suasana. Haru meliputi dengan saling memaafkan, berpelukan erat meleburkan rindu dan pengobat lara yang mungkin pernah dirasa. Juga berbaur tawa karena leburnya kesedihan dan saling cerita kelucuan lainnya.

Pun kami para cucu mendapat giliran yang sama untuk sungkeman dengan Mbah Putri. Kami antri panjang bagai kereta api. Maklum, keluarga ayah ada sepuluh bersaudara, jadi keponakan beliau juga cukup banyak. Mbah Putri dengan senang hati menerima sungkem dan salam kami. Takbosan mencium satu per satu cucu-cucunya.

Setelah sungkeman selesai, berbaurlah seluruh keluarga menikmati hidangan. Saya pun bermain dengan sesama sepupu yang seumuran. Kala itu saya umur 7 tahun, kelas dua sekolah dasar. Mbah Putri yang anggun dengan sanggul dan kebayanya, tiba-tiba memanggil saya.

"Sis, sini, Nduk!" Beliau berseru riang sambil melambai ajakan. "Dalem, Mbah?"*) sahut saya sopan dan mengikuti langkah beliau menuju ruang makan yang penuh sesak dengan keluarga yang sedang menikmati suguhan makanan.

"Iki nggo kowe ya, Nduk**). Simpen, ditabung." Beliau mengambil telapak tangan saya, meletakkan dompet plastik merah jambu ukuran sedang. Berkancing tempel, sampulnya bercetakkan nama toko emas. Lalu beliau mengatupkan telapak tangan saya satunya pada dompet tersebut. "Ojo ilang, soko Mbah.". Rona wajah sepuhnya berseri, tangannya yang lembut mengusap rambut. Saya pun mengiyakan, tanda bahwa pemberiannya harus disimpan baik-baik.

Sedikit mengernyitkan dahi, saya berlalu dari si Mbah. 'Kok berat, ya. Opo tho isine?' 

Saya mampir salah satu kamar, duduk di tepi ranjang. Membuka dompet tersebut, dan... olalaaaa! Mata saya terbelalak saking takjubnya!

Puluhan koin mangpe' yang begitu banyak!

Waah, saya belum pernah punya uang sebanyak itu. Sehari-hari sekolah pun belum tentu punya uang jajan. Karena lebih sering bawa bekal sendiri dari rumah. Senyum saya mengembang lebar. Senang bukan kepalang!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline