Ya, benar. Gara-gara mereka, saya jadi ketagihan.
Ketagihan apa?
Ketagihan menulis, kegiatan baru saya setahun belakangan ini.
Awalnya sekedar mengikuti lomba menulis di sebuah komunitas tilawah, mengantarkan hasil karya saya menjadi salah satu dari 10 karya terbaik, hingga dibukukan menjadi Antologi. Hal tidak terduga sebelumnya, 'ternyata, nulis tuh asyik juga ya'.
Bermula dari itulah, saya lalu mengikuti berbagai pelatihan kepenulisan online atas saran kawan-kawan yang berkecimpung di dunia tulis-menulis. Wawasan jadi makin terbuka, pertemanan menjadi makin luas di dunia maya. Kini memberanikan diri mengunggah tulisan di media sosial atau online.
Menulis? Emang gampang?
Saya juga merasa ngeri-ngeri sedap saat pertama kali ikutan belajar nulis. Takut salah. Apalagi dengan aturan-aturan kepenulisan. Musti bahasa baku lah, perhatikan tanda baca lah, mana yang fiksi, mana yang non-fiksi lah. Belum lagi latihannya yang pake dikejar deadline.
Terinspirasi dari mentor kepenulisan yang saya ikuti pelatihannya, bahwa menulis itu ada kaitannya dengan budaya baca, minat baca, kebiasaan membaca. Beliau bilang: menuliskan apa yang Anda dapatkan dari buku yang dibaca, akan mendapatkan pelajaran yang dipetik.
Selama ini saya hanya membaca. Dalam artian hobi berat membaca. Kadang merenungkannya, mempraktekkannya, menceritakan isi buku ke kawan-kawan, tapi belum tergerak untuk menuliskannya. Entah membuat resensi atau pendapat saya tentang buku tersebut. Ya, hanya sekedar sebagai kegemaran saja. Nah, sekarang saya jadi seneng nulis gara-gara mereka. Nyalahin mereka? Engga juga sih, hehehe. Malah bersyukur!
Kenyataannya, menulis jadi aktivitas baru. Bukan gara-gara pandemi, tapi saya musti mengobrak-abrik mental blok saya dalam menuangkannya menjadi kalimat. Ga pake takut lagi, dah! Hikmah yang saya dapatkan, menulis selalu berhubungan dengan membaca. Gimana bisa nulis kalo engga baca? Ya, kaaan? (baca: desah manja ala Syahrini).
Karena membaca sudah jadi hobi berat, kini menulis jadi awal kegemaran. Buku yang dibaca tentu bisa jadi referensi. Dan referensi terbaik adalah dari apa yang kita lihat, kita dengar, kita rasa, kita raba, lalu jadi tulisan yang bermanfaat, karena kita sendiri yang jadi saksi atas apa yang kita tuliskan.