Lihat ke Halaman Asli

Raden Siska Marini

Manusia Profesional

Cinta Teduh

Diperbarui: 13 Desember 2024   11:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan

Jumat pagi itu terasa begitu teduh, setelah hujan semalam yang meninggalkan udara segar dan aroma tanah yang khas. Setiap tetes air yang masih menempel di dedaunan berkilau tertimpa sinar matahari yang perlahan menembus awan. Jalanan yang lembap dan tenang mengundang ketenangan, seakan menjadi panggilan untuk merenung, mencari makna dari sebuah perasaan yang kadang sulit dimengerti.

Di tengah kedamaian itu, seorang diri duduk di beranda rumah, menyeruput kopi hangat dengan perlahan. Hujan semalam membawa pikirannya berkelana, menelusuri jejak-jejak perasaan yang pernah hadir dan pergi begitu saja. Cinta. Sebuah kata yang kadang terasa begitu dekat, namun tak jarang begitu jauh. Di pagi yang teduh ini, ia bertanya pada dirinya sendiri---apakah cinta yang teduh itu nyata?

Cinta yang teduh, seperti angin yang menyapu perlahan tanpa mengganggu, seperti hujan yang datang dengan lembut namun mampu menyirami yang kering dalam diri. Apakah cinta itu ada? Ataukah hanya sebuah harapan kosong yang tak pernah terwujud?

Seperti banyak orang yang pernah merasakan jatuh cinta, ia pun tak lepas dari kegelisahan yang menghantui. Apakah ia telah cukup memahami cinta, ataukah hanya terjebak dalam pencarian yang tak pernah berujung? Setiap hubungan yang pernah terjadi terasa seperti perjalanan yang belum selesai, seperti pencarian akan pelabuhan yang tak kunjung ditemukan.

Di pagi itu, saat ia menatap langit yang semakin terang dengan rona oranye yang menenangkan, bayang-bayang masa lalu datang begitu jelas. Seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya, dengan senyum yang ringan, pernah membuatnya percaya bahwa cinta itu mungkin ada, walaupun hanya untuk sementara. Sosok itu pergi tanpa banyak kata, meninggalkan pertanyaan yang tak terjawab.

Sekali lagi, ia bertanya dalam hati, apakah cinta yang teduh itu benar-benar ada, atau hanya akan terus berada di ujung kegelisahan yang tak berkesudahan? Apakah pencarian ini hanya akan berakhir dengan perjalanan panjang yang tak kunjung menemukan titik terang?

Saat kopi terakhirnya hampir habis, terdengar suara pintu rumah yang terbuka. Pagi yang penuh berkah itu membawa sebuah keheningan yang terasa lebih hangat, lebih akrab. Hanya suara angin yang berbisik pelan dan riuh daun-daun yang bergoyang lembut. Tanpa perlu banyak kata, ia menyadari bahwa mungkin cinta yang teduh tidak perlu dicari dengan susah payah. Cinta itu hadir dalam setiap momen yang sederhana, dalam kedamaian yang datang tanpa terencana.

Cinta yang teduh itu mungkin bukan dalam janji-janji besar, tetapi dalam kebersamaan yang tidak memerlukan banyak kata. Ia mulai memahami bahwa cinta bukan sesuatu yang harus dikejar dengan terburu-buru. Cinta hadir dalam kehadiran yang tulus, dalam rasa yang datang begitu saja tanpa harus dipaksakan.

Tak perlu lagi mencari. Cinta, seperti hujan yang datang setelah malam yang sunyi, kadang hadir tanpa diduga. Yang perlu dilakukan hanyalah membuka hati, menerima setiap perasaan yang datang, seperti meresapi Jumat pagi yang penuh berkah ini---tanpa perlu memahami segala yang tersembunyi di baliknya. Karena pada akhirnya, kegelisahan itu akan bermuara pada sebuah pencarian yang, tanpa disadari, akhirnya menemukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline