Dalam masyarakat kita, perempuan sering kali diasosiasikan dengan sifat peka dan emosional. Stereotip ini, yang sering kali merendahkan, menganggap perempuan sebagai sosok yang "baper" atau mudah tersentuh perasaannya. Namun, justru di sinilah letak kekuatan perempuan. Kelekatan emosional yang dimiliki perempuan dapat menjadi modal berharga dalam menjalani berbagai hubungan dan interaksi sosial.
Teori yang relevan dengan hal ini adalah Teori Kecerdasan Emosional oleh Daniel Goleman. Menurut Goleman, kecerdasan emosional mencakup kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi---baik emosi diri sendiri maupun orang lain. Perempuan, dengan kepekaan yang lebih tinggi terhadap perasaan, memiliki keunggulan dalam hal ini. Mereka cenderung lebih mampu memahami nuansa emosi dalam interaksi, yang bisa menjadi kelebihan dalam berkomunikasi dan membangun hubungan yang sehat.
Namun, penting untuk dicatat bahwa perempuan tidak boleh mengesampingkan perasaan mereka demi citra "hebat" atau kuat. Jika ada pengalaman yang menyedihkan, mengecewakan, atau membuat marah, penting untuk memvalidasi perasaan tersebut. Mengabaikan emosi ini bisa menjadi berbahaya dan menimbulkan masalah kesehatan mental. Ketika kita terlalu sering mengabaikan perasaan kita, kita bisa kehilangan koneksi dengan diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita.
Setelah memvalidasi perasaan, langkah selanjutnya adalah memanage reaksi terhadap perasaan tersebut. Ini bukan hanya untuk kebaikan diri sendiri, tetapi juga demi kemaslahatan bersama. Mengelola emosi dengan baik memungkinkan perempuan untuk tetap kuat dan berdaya, tanpa harus menyimpan rasa sakit atau kemarahan yang tak terucapkan.
Selain itu, perempuan sering kali mempraktikkan pola kepemimpinan feminim, yang menekankan kolaborasi, empati, dan inklusivitas. Teori kepemimpinan feminim ini, yang dipopulerkan oleh pemikir seperti Rosabeth Moss Kanter dan Brene Brown, menyoroti bahwa pemimpin perempuan sering lebih mendengarkan dan memberdayakan anggota tim mereka. Mereka menciptakan lingkungan yang aman untuk berbagi ide dan emosi, sehingga semua suara didengar dan dihargai. Dengan pendekatan ini, perempuan tidak hanya mampu memimpin dengan efektif, tetapi juga membangun komunitas yang lebih kuat.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Eleanor Roosevelt, "No one can make you feel inferior without your consent." Ini menegaskan bahwa perempuan memiliki kekuatan untuk mengontrol bagaimana mereka merasa dan bagaimana mereka diakui oleh orang lain.
Di sisi lain, stigma bahwa perempuan lemah dan selalu baperan kadang salah besar. Mari kita renungkan sejenak: bukankah perempuan yang bisa menangis di depan umum dan tetap melanjutkan hidupnya dengan penuh semangat adalah bentuk keberanian yang sejati? Jadi, jangan heran jika di balik tangisan itu ada semangat yang membara. Toh, kadang-kadang, kekuatan terbesar datang dari mampu mengakui dan mengolah emosi kita.
Jadi, mari kita rayakan kepekaan dan kekuatan perempuan. Ingatlah, menangis bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru bisa menjadi langkah awal untuk bangkit. Dan kepada yang masih beranggapan bahwa perempuan itu lemah dan baperan, mungkin sudah saatnya Anda memperbarui pemahaman---karena bisa jadi, Anda yang sebenarnya "baper" melihat kekuatan yang tak terduga dari sosok-sosok hebat ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H