Beberapa waktu lalu, Ibu saya sempat cerita bahwa anak tetangga kami sering sakit-sakitan, "loh bukannya dulu sehat-sehat aja, Bu?" tanya saya heran.
"Sekarang juga sudah bagus kondisinya, tapi dulu sebelum pindah sekolah sering sekali mengeluhkan sakit kepala. Kalau main ke rumah, dia cerita mumetnya sering kumat kalau sudah mau sampai sekolah."
"Kok aneh gitu ya."
"Ya udah, Ibu bilang saja ke dia untuk minta orangtuanya ganti jalur pas nganter. Siapa tahu manjur, hehe.. "
Cerita punya cerita, ternyata si anak masuk sekolah tersebut karena permintaan orangtuanya. Anaknya sendiri? Males. Padahal sekolah tempat si anak belajar termasuk sekolah favorit. Kurikulumnya menggabungkan pelajaran umum dan agama. Pokoknya mutunya terkenal wahidd deh. Tapi, sistem full day school yang diterapkan ternyata nggak ngefek pada anak ini.
Bahkan tiap kali tes atau ujian, dia bolak-balik jatuh sakit. Setelah konsultasi ke dokter dan psikolog, mereka menyarankan agar sekolahnya dipindahkan saja. Beberapa minggu di sekolah baru, anak tadi menunjukkan gejala perbaikan yang signifikan. Yang dulunya malas makan, sekarang tanpa disuruh sudah ngambil nasi duluan.
Kasus kayak gini mungkin bukan hanya satu dua. Keinginan anak dan orangtua semacam dua kutub magnet, saling bertolakan, terutama masalah pendidikan. Sayangnya, ruang diskusi jarang dihadirkan. Salah satu pihak akhirnya mengalah, entah si anak entah bapak-ibunya. Syukur-syukur kalau happy ending, tapi seringnya sih dilanda problem di tengah jalan.
Ada yang DO, ada juga yang nggak kelar-kelar. Bahkan tidak jarang anak akhirnya mencoba berulah di sekolah untuk menunjukkan perlawanannya. Nah, ketika terjadi kenakalan, justru orangtua tidak pernah melihat ini sebagai kejanggalan atau indikasi bahwa hal tersebut menyimpan masalah yang lebih besar. Responnya kemudian malah malah besar dan memarahi si anak habis-habisan.
Padahal idealnya, jikalau anak diberikan waktu untuk berpendapat dan diajak bicara, saya yakin anak-anak akan jauh lebih jujur dan keuntungannya, orangtua dapat kemudian mengarahkan anak sesuai hobi dan passion mereka. Tapi, yang terjadi biasanya orangtua kerap menetapkan standar terlalu tinggi pada anak, atau memaksakan 'impiannya yang tak tercapai' ke buah hati mereka.
Terutama ketika orantua menganggap apa yang mereka jalani dulu adalah yang terbaik, jadi si anak pun harus mengikuti jejak mereka. titik. tidak boleh ada yang keluar dari jalur.