Sewaktu kecil, keluarga kami tidak dibiasakan untuk mendapatkan angpau ketika berhasil puasa 30 hari full. Kesadaran saya dan saudara-saudara kandung lainnya lebih kepada malu bila buku catatan puasa kami harus bolong satu hari. Jadi, orangtua kami tidak perlu repot-repot menyiapkan amplop saat hari raya tiba. Namun, pernah suatu kali di bulan puasa, bapak saya menjanjikan untuk mengajak saya dan adik saya ke toko buku setelah Ramadan usai asalkan puasa kami penuh dan nilai rapor kami baik.
Pergi ke toko buku mungkin terdengar sangat biasa. Yang agak luar biasa, kami tinggal di kabupaten yang tidak memiliki toko besar. Jika pun ada, lebih ke toko-toko kitab kuning dan kios majalah di dekat pasar. Bila ingin berbelanja buku, kami harus pergi ke ibukota provinsi yang bisa ditempuh satu jam lebih dengan naik motor.
Terlebih lagi waktu itu, penghasilan bapak sebagai guru bisa dibilang terbatas, oleh karenanya kami tidak bisa sembarang merengek minta dibelikan buku. Paling-paling yang bisa kami lakukan adalah berkunjung perpustakaan sekolah atau perpustakaan daerah yang koleksi bukunya tidak terlalu banyak.
Tawaran menggiurkan ini tentu tidak kami sia-siakan, semangat Ramadan yang sebelumnya hanya 60%, mendadak naik jadi 110%, hehe... Nah, yang masih menjadi misteri adalah nilai rapor kami. Memang sih kami sudah rajin belajar, tapi tetap saja jantung masih dag-dig-dug-der ketika bapak datang ke sekolah saat pengambilan rapor.
Saya yang biasanya ikut datang ke sekolah, hari itu terlalu ciut untuk menunjukkan muka di depan ibu wali kelas. Kalau naik kelas dan nilai-nilainya istimewa sih tidak masalah, lah kalau malah terjun bebas? Rencana ke toko buku 'kan jadi runyam.
Syukurlah, rapor kami aman dari 'kebakaran'. Sehingga rencana ke toko buku pun akan ditepati. Esoknya, kami dari pagi sudah bersiap-siap pergi padahal bapak bilang jam 9 pagi baru berangkat, eh kami malah sudah siap sejak jam 7 pagi. Sesampainya di toko buku, kami yang baru pertama kali kesana menatap kagum deretan buku yang diatur di rak-rak panjang. Bau buku-buku baru yang khas kami endus bagaikan kucing yang mencium ikan asing digoreng... sniff.. sniff!
Semenjak kedatangan kami ke toko buku tersebut, tiap tahun kami hanya minta satu hal kepada bapak: pergi ke ibukota dan beli buku. Karena kami tidak pernah meminta banyak, bapak selalu menuruti keinginan kami. Awalnya setahun sekali, namun saat penghasilan bapak sebagai guru les bertambah, kami mendapatkan bonus menjadi tiga kali setahun atau tiap akhir caturwulan.
Hadiah ke toko buku mungkin akan terdengar sepele sekarang, namun setelah dewasa akibatnya begitu luar biasa, berkat ide bapak kini saya bisa meraih pekerjaan impian saya dan daya tarik membaca saya tidak pernah luntur. Mungkin inilah yang dinamakan, hadiah yang terlihat sederhana, tapi meninggalkan kesan yang mendalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H