Lihat ke Halaman Asli

Hasna A Fadhilah

Tim rebahan

Membuat Kue Lebaran, Mengikat Kebersamaan

Diperbarui: 3 Juni 2018   17:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pinsdaddy.com

Dibandingkan urban kids zaman now, yang sedikit-sedikit maen ke mall dan menghabiskan waktu menatap layar hp, masa kecil saya di kampung saat Ramadan dilalui dengan cukup hemat uang dan pulsa. Waktu itu, hp belum mewabah seperti sekarang, dan bulan puasa adalah kesempatan yang paling pas untuk bermain-main sepanjang hari. Bahkan, kami sempat merasakan enaknya sekolah diliburkan satu bulan full saat Gusdur berkuasa. Pokoke joss tenan!

Itu firasat saya pertama kali mendengar kata libur, yang ternyata eh ternyata, nggak betul-betul libur. Sebagai gantinya, diadakanlah pesantren kilat dua puluh tiga hari nonstop. Dan sayangnya, jam mulainya sama dengan jam permulaan sekolah biasa. Bagi saya yang pelor alias nempel sedikit molor, mendengarkan nasihat di pagi hari saat berpuasa adalah tantangan tersendiri.

Tapi untunglah, hingga hari terakhir saya masih sanggup untuk berpartisipasi, meski catatan di buku saya tak ubahnya cacing-cacing kepanasan. Bahkan ada satu lembar dari baris pertama sampai terakhir yang isinya modat-madut, yang saya sendiri pun tidak bisa membacanya, haha...

Selain menghabiskan bermain dengan tetangga dan mengikuti pesantren kilat, hal yang paling saya sukai adalah membuat kue lebaran sendiri. Waktu itu, toko cookies dan aneka kue tidak banyak seperti sekarang, bahkan kami harus mau berdesak-desakkan ke pasar bila tidak ingin kehabisan.

Sebagai gantinya, ibu mengusulkan untuk membeli bahan-bahan kue saja, dan dua anak perempuannya lah yang akan membantunya untuk mengeksekusi. Mendengar tawaran ini, kami tentu gembiranya bukan kepalang. Tidak hanya tertantang untuk membuktikan bahwa kami adalah chef cilik yang unyu-unyu, kami juga tidak sabar untuk pamer kue buatan kami ke teman-teman sekolah dan tetangga.

Kue kering yang kami buat dulu bervariasi dari kastengel hingga dahlia. Kami biasanya paling semangat ketika adonannya sudah jadi karena tinggal dibentuk saja sesuai selera. Sedangkan urusan menguleni kue, biasanya kami serahkan saja ke ibu karena biasanya kalau kami kerjakan, baru berapa kali adukan, tangan kami sudah capek, hehe..

Padahal kalau sudah adonannya jadi pun, ujung-ujungnya kami lebih sering bikin ulah. Yang numpahin kantong tepubg lah, hingga colek-colekan selai di pipi. Intinya, kami sukses berat bikin dapur seperti kapal pecah. Untunglah, menengok kebandelan kami, ibu selalu sabar dan tidak pernah membentak. Malah, keasyikan seperti ini yang kami selalu rindukan saat Ramadan tiba. 

Bisa disimpulkan, istimewanya membuat kue lebaran bukan hanya terletak pada kepuasan batin ketika kuenya terpanggang sempurna, tapi juga karena momennya yang selalu dinanti. Perlu dicatat bahwa kami hanya membuat kue sendiri setahun sekali. Tidak pernah di waktu-waktu lain.

Jadi, saat-saat membuat kue inilah yang membuat kaum hawa dalam keluarga kami sangat kompak, termasuk ketika menghadapi bully-an adek laki-laki saya yang suka mengejek ketika ada beberapa kue kami yang ditemukan gosong atau kebanyakan meses atau selai.

Sayangnya, tradisi membuat kue itu kini sudah mulai menghilang saat kami beranjak dewasa. Cuti kantor yang mepet menjelang idul fitri dan kesibukan kami masing-masing membuat ibu sekarang lebih memilih membeli kue jadi ketimbang membuat sendiri. Belum lagi usia ibu kami yang beranjak senja, akan mudah capek bila harus belepotan dengan berbagai kericuhan di dapur.

Meski begitu, saya berharap di kesempatan selanjutnya, entah di bulan puasa tahun depan atau puasa berikutnya, kami bisa kembali mengembalikan kebiasaan ini agar nostalgia itu bisa terulang. Selain juga ingin menguatkan ikatan geng perempuan di dapur keluarga yang sekarang pudar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline