Pagi itu sekitar jam delapan, teman saya yang terlihat ceria, rona mukanya terlihat sangat pucat. Melihatnya yang kurang daya, saya pun jadi heran, "mbak puasa kah?"
"Nggak sih, kata dokter harus diselingi, sehari puasa sehari nggak."
Mendengar penjelasannya saya akhirnya paham, tapi melihat ibu hamil ini malah loyo, saya masih penasaran, "jangan-jangan mbak belum sarapan ya?"
"Tadi makan roti sedikit, tapi ini si dedek nendang terus. Kayaknya lapar," ia mencoba menerangkan sembari mengelus-elus perutnya.
"Sok atuh cari makan dulu mbak," saran saya tidak tega.
"Itu lah masalahnya, susah nyari warung yang buka. Paling siangan ada kali ya?"
"Nanti keburu pingsan lagi," seru saya khawatir, "kalau nggak pesan via ojek online aja?"
"Daritadi udah cari tapi ini masih belum dapat juga drivernya."
"Duh... " saya pun ikutan cemas, berharap semoga ia dapat memesan makanan segera. Tapi, di sisi lain, saya kemudian mencoba mencari tahu mengapa banyak warung yang tutup di bulan puasa ini. Usut punya usut, ada kabar bahwa akan ada ormas yang berencana sweeping warung di bulan Ramadan. Nah, karena banyak pemilik warung yang takut, akhirnya mereka memutuskan untuk tidak berjualan saja, daripada harus menanggung risiko yang lebih besar.
Setelah mengetahui asal muasalnya, saya pun melenguh panjang. Kok kesannya nggak ada kerjaan amat sih sampai nyuruh warung pada tutup? Kalau sampai teman saya yang tadi kolaps, apakah ormas tadi mau membantu membawa ke rumah sakit dan membayar pembiayaannya? Singkatnya, yang puasa 'kan kita sendiri, kok orang lain yang repot?!
Saya sendiri kurang setuju akan adanya kebijakan penutupan warung makan selama Ramadan, selain akan menyulitkan bagi individu yang sedang tidak berpuasa seperti teman saya tadi. Hal itu justru menjadi boomerang bagi umat islam sendiri karena sejatinya puasa adalah amal ibadah yang ranahnya privat dan dengan tetap dibukanya tempat kuliner sendiri tentu harusnya menjadi tantangan untuk kita agar terus memotivasi diri serta menguatkan iman dan taqwa. Bila takut tergoda ketika melewati warung, dan kemudian memutuskan untuk membatalkan puasa, ya, jangan salahkan pemilik warungnya. Sama seperti ketika kita tidak sengaja terantuk pintu kaca bening, apakah yang salah pintunya? Hal ini jelas adalah kesalahan pribadi tersebut yang tidak mawas dan hati-hati. Begitu juga saat puasa, harus kah kita menyalahkan warung makan yang buka karena kita terusik aromanya ketika lewat? Bukan kah seharusnya kita bisa menahan diri untuk membuktikan ketaatan kita?