Lihat ke Halaman Asli

Serial 1: Panggil Aku Binaya

Diperbarui: 3 September 2016   10:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seperti biasanya di akhir pekan, telingaku selalu dijamah kemolekan gunung dan lembah yang ditumbuhi pohon anggrek nan indah. Sebenarnya, bukan itu yang mau kudengar. Tetapi, kenapa kedua orangtuaku lebih betah di gunung daripada di rumah? Kenapa mereka rela meninggalkanku seorang diri, selama sepekan, demi kemolekan gunung? Atau, kenapa ayah dan ibuku terus memaksaku menjejaki jalan mereka, sebagai seorang petualang?

Sudah lama kusimpan baik-baik pertanyaan ini. Namun, kali aku tak kuasa membendungnya lagi, seperti awan yang tak kuasa menampung butir-butir air, lalu menumpahi  menjadi hujan.

 “Ayah, kenapa…” Suaraku masih tertahan di rongga mulut. Secepat kilat, ayah lalu memotongnya.

Seperti mengetahui maksudku.

“Kunamaimu, Binaya, kelak kau mendapak jalan kami, jadilah seorang petualang, Nak.” Suara ayah lirih.

Saking cintanya pada gunung, hingga perihal pemberian nama, ayah menamaiku, Binaya. Sebuah nama yang diambil dari  nama sebuah gunung di kota tempat aku dilahirkan, gunung Binaya. Jika Shakespeare, dramawan Inggris, risih menyoal what is a name?Apalah arti sebuah nama?Hal berbeda dengan ayahku, menamaiku Binaya, harapannya kelak aku menjadi seorang petualang, seperti dirinya.

Lamat-lamat kubiarkan kalimat itu berlalu, seperti angin menerbangkan debu, lalu tiada.

Sejenak, kutatap wajah ayah dalam-dalam, terlihat guratan keseriusan menggantung di sana, bak cermin memantulkan guratan keseriusan yang sama. Kutarik nafas dalam-dalam. “Ayah telah mengusik hidupku dengan takdir yang dibuat ayah, atas diriku.” Jeda, kutata nafas, lalu kata. “Petualangan alam bebas bukanlah duniaku, bukan pula takdirku”. Getar suaraku, seperti petir yang memecah semesta.

Sejak saat itu pula, di rumah seperti di neraka.

 Pertentangan hadir di awal waktu, seperti bangsa Jin terhadap Tuhan. Lalu, kami, aku dan kedua orangtuaku. Pertentangan dan penyesalan begitu apik kupelihara, kubiarkan bermukim di batinku.

“Andai saja saat itu, secuil kebebasan  diberikan Tuhan, kepadakku, aku tak mau memilih lahir dari kantong rahim seorang petualang. Namun, kelahiran adalah sebuah kutukkan bukan pilihanku, maka saat ini aku telah tertawan petualang sebagai garis hidup yang harus kutunaikan, meskipun jiwaku tak di sana. Gumamku, dalam hati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline