Lihat ke Halaman Asli

Manajemen Permukiman Kota (Studi Kasus: Permukiman Kumuh di Pusat Kota Salatiga)

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan suatu kota membawa berbagai macam dampak bagi pola kehidupan masyarakat kota itu sendiri, salah satunya dampak akan tingginya arus urbanisasi. Dampak dari tingginya arus urbanisasi selalu berkaitan dengan permukiman kota. Tingginya jumlah penduduk yang di pusat kota yang notabenenya pusat kota merupakan pusat dari kegiatan kota, mengharuskan terpenuhinya kebutuhan akan permukiman yang layak huni, khususnya bagi kaum urbanis yang pekerjaannya terkonsentrasi pada pusat kota. Ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap serta kemudahan jangkauan tempat kerja di pusat kota inilah yang menimbulkan daya tarik bagi masyarakat untuk bermukim di kawasan tersebut. Kondisi seperti ini juga terjadi di Kota Salatiga, terutama di kawasan CBD (Central Bussiness District) kota yang berada dekat dengan kawasan permukiman Puncuran yang terletak di sekitar koridor Jl. Jend. Sudirman yang merupakan pusat Kota Salatiga. Kawasan ini terletak di Bagian Wilayah Kota I (BWK I) dimana kawasan ini diperuntukan bagi aktivitas perdagangan dan jasa, selain juga kegiatan pemerintahan dan perkantoran.

Populasi penduduk di pusat kota Salatiga memang tergolong tinggi akibat proses urbanisasi dan kebanyakan dari urbanis yang datang adalah mereka yang ingin berjualan di pasar serta sebagian besar dari mereka tergolong masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Secara tidak langsung para urbanis tersebut membutuhkan permukiman yang paling dekat dengan pusat perdagangan. Perkembangan kebutuhan hunian di pusat kota Salatiga tersebut kurang diimbangi oleh ketersediaan lahan, sehingga dengan terus meningginya arus urbanisasi mengakibatkan penambahan jumlah hunian yang dilakukan oleh para urbanis cenderung mengabaikan aturan-aturan dasar tentang pengadaan bangunan rumah, bahkan karena keterbatasan lahan tersebut terdapat sebagian dari mereka yang menggunakan sebagian badan jalan untuk mendirikan bangunan yang dijadikan sebagai tempat tinggal maupun usahanya. Akibatnya adalah permukiman di pusat kota tersebut menjadi kumuh dan suasana yang tidak tertib yang berakibat pada berubahnya kualitas lingkungan fisik kawasan.

Menurut Khomarudin (1997: 83-112), lingkungan permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai kawasan yang lingkungan berpenghuni padat (melebihi 500 0rg/Ha), kondisi sosial ekonominyamasyarakatnya rendah, jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya di bawah standar. Kawasan permukiman Puncuran ini memang kawasan yang terpadat di Kota Salatiga dan Pemerintah Daerah sudah memberikan banyak sekali bantuan dana dan melaksanakan program-program yang berhubungan dengan menajemen kota dalam penataan kawasan ini tiap tahunnya. Akan tetapi kawasan ini tidak menunjukkan perubahan yang berarti dan masih berkesan kumuh dan kualitas lingkungannya pun tetap buruk. Adapun pembahasan ini terkait pada bagaimana peran pemerintah dalam penyediaan hunian bagi penduduk kota sehingga kemungkinan munculnya permukiman kumuh di suatu kota dapat diminimalisir karena pada dasarnya penyediaan permukiman pemerintah harus ditujukan untuk penduduk dengan berbagai kalangan di suatu kota. Namun dalam pembahasan kali ini, lebih mengerucut pada studi kasus penyediaan rumah bagi penduduk yang berada di permukiman kumuh dengan karakteristik penduduk yang berpenghasilan menegah ke bawah.

Dalam konteks manajemen kota, hampir setiap kota mempunyai permasalahan akan permukiman kumuh dan hal tersebut memang rentan terjadi, begitu pula yang terjadi di pusat kota Salatiga. Permasalahan ini telah menjadi sorotan pemerintah sejak dulu. Terdapat perubahan tahapan dalam menangani masalah permukiman kota dari sudut pandang pemerintah di negara berkembang yang menghadapi pertumbuhan populasi yang tinggi dan masalah permukiman kumuh. Terdapat lima tahap kontras yang menunjukkan sikap pemerintah terhadap penyediaan permukiman kota, antara lain :

1.Tahap I (Tahun 1950 - 1960-an) :

Pemerintah negara berkembang hanya menganggap permasalahan permukiman informal sebagai akar dari permasalahan ekonomi, sedangkan pertumbuhan ekonomi semestinya tumbuh dan pendapatan semestinya meningkat. Pada tahapan ini pemerintah masih tidak mempunyai aksi, hanya menganggap permasalahan permukiman informal sebagai akar dari permasalahan ekonomi saja.

2.Tahap II (Tahun 1960-1970-an) :

Pemerintah mulai menyadari bahwa permukiman informal dilihat sebagai masalah sosial. Pada tahapan ini pemerintah mengerahkan institusi dan dana untuk pembangunan public housing (misal : rumah susun) dan permukiman kumuh (slum area) dilenyapkan (salah satunnya dengan cara penggusuran).

3.Tahap III (Tahun 1970-1980-an) :

Pemerintah mulai menyadari bahwa permukiman informal dapat dianggap sebagai permukiman permanen dari kota (kondisi ini dianggap bahaya yang jika tidak ditangani). Pada tahapan ini pemerintah yang pada umumnya ingin eksistensi negara berkembang menjadi negara maju mengadakan adanya program rumah inti (site and service program).

4.Tahap IV (Tahun 1980-1990-an) :

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline