"Tos aya papacangan? Bade diamprokkeun nya ka murangkalih Bapa? Tah, tingali murangkalih teh mani ganteng sareng jangkung. Tos kerja deui. Engkin tos nikah ge dipasihan bumi." (Sudah ada pasangan? Mau dijodohkan ya ke anak Bapak? Lihatlah anak Bapak sangat tampan dan tinggi. Sudah kerja lagi. Nanti juga jika sudah menikah, ada rumahnya.)
Begitulah rentetan kata dari Pak Ujang, salah satu tetua yang antusias menawariku perjodohan.
Di lereng Gunung Halimun Salak, terdapat kearifan lokal yang menggelitik. Setiap pendatang pasti ditawarkan untuk dijodohkan dengan warga setempat.
Tanpa mempedulikan apakah yang ditawarkan perjodohan ini berminat atau tidak. Apakah sudah ada tambatan hati atau belum?
Selama janur kuning belum terpasang, area perjodohan merupakan area perang terbuka. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama. Siapa cepat, ia dapat. Jika ditolak, raut wajahnya langsung mendung :P
"Nikah teh ulah ditunda-tunda. Kedah digancangkeun bisi aya jurig. Haram hukumna mun ameng sareng nu laen mahram. Bisi buncir di luar nikah. (Menikah itu jangan ditunda-tunda. Harus disegerakan khawatir ada setan. Hukumnya haram jika main bersama dengan yang bukan mahram. Takut mengandung di luar nikah.)," ujar Pak Ustaz menasehati Rangga, adik bungsu laki-lakiku yang rajin ke madrasah.
Tak kalah dengan kepiawaian influencer ternama, Pak Ustaz pun melancarkan serangan promonya. "Anak angkat Ustaz teh garareulis sareng bageur. Sok we, Rangga bade milih nu mana? Janda murangkalih dua atawa tilu?" (Anak angkat Ustaz itu cantik-cantik dan baik. Silakan, Rangga mau pilih yang mana? Janda anak dua atau tiga?"
Tentu saja mendengar hal itu, Rangga bengong. "Pa Ustaz, abdi teh tos gaduh papacangan di kota. Tos dua taun papacanganana." (Pak Ustaz, aku itu sudah memiliki pacar di kota. Sudah dua tahun hubungannya.)
Pak Ustaz mengibaskan tangan kanannya seolah-olah sedang mengusir nyamuk bandel. "Itu mah urusan gampil. Jodoh kan saha nu terang? Teu aya salahna usaha mun teu acan nikah" (Itu urusan mudah. Jodoh siapa yang tahu? Tidak ada salahnya usaha jika belum nikah."
Rangga pun menyerah. Iya-iya aja deh selama disuguhi masakan enak di Madrasah. Apalagi setiap Rabu malam ada doa dan makan bersama. Istri Pak Ustaz sendiri yang masak. Ada pepes ikan gurami, sop iga, sambal, dan lain-lain. Bagaimana Rangga tidak betah? Tak hanya amal doa, tapi perutnya pun kenyang. Walaupun harus menyisir lereng terjal beramai-ramai menuju Madrasah saat malam hari, tapi menyenangkan. Api obor menari-nari menerangi hati yang mencari kedamaian.