Aku mencari-cari Ranko. Setelah menari bersamaku, ia menghilang begitu saja. Ah, itu dia. Sedang apa ia di sana sendirian?
Di pojok kebun Gedung Aoi, Ranko berdiri mematung. Manusia yang tak memiliki indera keenam akan melihat Ranko berbicara sendiri dengan ruang kosong. Awalnya, aku tak menyadarinya. Ternyata Ranko tak sendiri. Ia bersama dengan hantu perempuan yang melayang di udara. Ujung kakinya terpisah 30 cm dari tanah.
Aku merinding melihat rambut hantu perempuan tersebut yang begitu lebat dan panjang. Memang nyali seorang indigo seperti Ranko layak dipuji. Aku saja ngeri jika harus berhadapan sendirian dengan hantu perempuan seperti itu.
"RANKO, APA YANG KAU LAKUKAN BERSAMA HANTU PEREMPUAN ITU? MENJAUHLAH DARINYA! KAU BISA CELAKA," teriak Tama panik. Hantu kucing berbulu hitam itu begitu tegang hingga bulunya berdiri seluruhnya.
Teriakan Tama menyadarkanku yang malah terpana. Bersama Tama, aku segera menghampiri Ranko dan hantu perempuan itu.
Ranko menoleh padaku dan Tama. Raut wajah Ranko yang sepucat kertas tampak bersalah sehingga aku menyadari ia sedang memegang sesuatu yang serupa dengan Jurnal Hantu. Refleks aku merogoh saku celana panjang untuk memastikan adanya Jurnal Hantu. Tapi, hanya ruang kosong yang menantiku. Ranko memang memegang Jurnal Hantu-ku!
"Ranko, please, ada apa denganmu? Mengapa kau hendak memberikan Jurnal Hantu-ku ke hantu perempuan?" Tanyaku.
"Jangan kau berikan Jurnal Hantu itu! Jangan termakan tipu daya hantu perempuan tak tahu diri itu," bujuk Tama.
"Berikan segera Jurnal Hantu padaku, Ranko. Kau tahu mereka tak bisa dipercaya. Kau tak ingin ada korban lain, bukan?" Tegas Irma, si hantu perempuan.
Tangan Ranko yang sudah setengah jalan gemetar hebat. Ia bingung. Siapa yang berbohong? Siapa yang harus ia percayai dalam situasi genting seperti ini?
"Ranko! Apa aku bersalah padamu? Apa salahku? Sangat berbahaya memberikan Jurnal Hantu pada hantu," ujarku.