Krisis keamanan di Semenanjung Korea, kawasan Indo-Pasifik, diakibatkan ancaman nuklir Korea Utara. Krisis tersebut tak hanya terkait Korea Selatan, tapi global. Karena Korea Selatan merupakan aliansi Amerika Serikat (AS), kawasan Indo-Pasifik merupakan teater yang penting bagi AS.
Hal tersebut terbukti dengan adanya US Forces Korea atau USFK, penugasan (deployment) kapal selam AS bertenaga nuklir, penugasan Carrier Strike Group sebanyak 2 iterasi di Semenanjung Korea, pembentukan Kelompok Konsultasi Nuklir (Nuclear Consultative Group atau NCG), latihan militer gabungan, dll. Ancaman konflik nuklir di Semenanjung Korea berpotensi membahayakan nyawa WNI yang bekerja di area tersebut sehingga masalah ini wajib diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia.
Untuk menganalisis krisis keamanan di Semenanjung Korea, sebaiknya memahami Perang Korea (25 Juni 1950-27 Juli 1953). Perang Korea merupakan perang proksi antara Korea Selatan (proksi dari AS yang bekerjasama dengan sekutu PBB) dengan Korea Utara (proksi dari China yang bekerjasama dengan Uni Soviet). Tak mengherankan sekarang ini Korea Utara yang tertutup, menjalin hubungan baik dengan China dan Rusia (dulu Uni Soviet). Berdasarkan hal tersebut, krisis di Semenanjung Korea tak hanya merupakan ancaman konflik nuklir, tapi konflik ideologi dan geopolitik.
Sejak tahun 1952 Korea Utara memulai program nuklir nasional dengan mendirikan Atomic Research Institute. Sementara sejak tahun 1970 Korea Selatan tidak mengembangkan senjata nuklir. Oleh karena itu, Korea Selatan berupaya untuk denuklirisasi Semenanjung Korea secara diplomatik.
Pada tanggal 14 Februari 2008, Korea Utara dan Korea Selatan menyatakan denuklirisasi di Semenanjung Korea untuk menghindari perang nuklir sehingga turut menjaga perdamaian di Asia dan dunia. Kenyataannya, hingga sekarang Korea Utara mengembangkan nuklir secara terus-menerus. Ketika Korea Utara terancam memperoleh sanksi dari PBB karena program nuklir dan ballistic missile, pada tanggal 28 Maret 2024 Rusia menggunakan hak vetonya sebagai Dewan Keamanan PBB.
Pada tanggal 19 Juni 2024 Kim Jong Un, Presiden Korea Utara dan Vladimir Putin, Presiden Rusia menandatangani kesepakatan kerjasama jika terjadi penyerangan terhadap Korea Utara atau pun Rusia. Hal tersebut merupakan koneksi terkuat antara Korea Utara dan Rusia sejak akhir Perang Dingin.
Berdasarkan UU tahun 2022, Korea Utara melarang perundingan mengenai denuklirisasi. Korea Utara menerapkan strategi penggunaan nuklir sebagai pencegahan (nuclear detterance strategy). Menanggapi hal tersebut, Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan melakukan latihan militer gabungan dengan pesawat berkemampuan nuklir.
Yoon Suk Yeol, Presiden Korea Selatan menyatakan Seoul tidak akan mengembangkan senjata nuklir. Kebijakan Korea Selatan tersebut merupakan komitmen Korea Selatan terhadap AS untuk denuklirisasi. Pada bulan April 2023, AS dan Korea Selatan sepakat untuk meningkatkan kerjasama nuklir, yang diikrarkan dalam Deklarasi Washington. Deklarasi tersebut menyatakan pendirian Kelompok Konsultasi Nuklir (Nuclear Consultative Group atau NCG) dan menegaskan kembali komitmen AS terhadap Korea Selatan. Biden berkata, "Setiap serangan nuklir Korea Utara terhadap Korea Selatan akan memperoleh respon yang cepat, menguasai, dan menentukan."
Strategi Keamanan Nasional (Grand Strategy) AS ialah membela tak hanya kepentingan AS, tapi juga aliansinya, termasuk Korea Selatan. Oleh karena itu, Biden mengancam akan meruntuhkan rezim Kim Jong Un jika Korea Utara terus saja mengembangkan senjata nuklir.
Sebagai bentuk diplomasi kapal perang (gun boat diplomation), AS mengirimkan kapal selam bertenaga nuklir ke Pelabuhan Busan, Korea Selatan pada bulan Juli 2023. Diplomasi AS tersebut ditanggapi Korea Utara dengan melanjutkan uji coba rudal balistik yang mampu menjangkau daratan AS. Hal tersebut berpotensi meningkatkan ketegangan di Semenanjung Korea.