Disclaimer: Artikel ini tidak bermaksud untuk mendorong terjadinya perselingkuhan. Segera berkonsultasi dengan psikolog/konselor jika berkeinginan untuk selingkuh. Pengarang artikel ini mohon dibebaskan dari segala tuntutan hukum (Pasal ITE) dan tuntutan hati karena topik perselingkuhan memang panas. Sepanas cinta yang membara. Yang tak kuat hati dan jantung, jangan membaca karena pembahasan mengenai perselingkuhan di artikel ini out of the box. Artikel ini request dari Billy Steven Kaitjily, sahabat baruku di Kompasiana yang penasaran dengan pandanganku sebagai perempuan. Padahal pendapatku ini tak mewakili mayoritas perempuan... Jika ada kalimat yang menyinggung perasaan siapa pun, tolong dimaafkan dan anggaplah artikel ini sebagai latihan untuk kekuatan jantung. =)
Semasa kita masih bernapas, mengapa tak menciptakan kebahagiaan? Mengapa sering mencari kesalahan? Tak akan pernah ada pasangan yang sempurna. Manusia sempurna karena tidak sempurna.
Dulu semasa kerja praktek (KP) di pabrik pupuk, aku dan peserta lain diminta mengangkat tangan kanan oleh Pembina KP. "Ikuti perkataan saya! Demi Allah Swt, saya bersumpah untuk menaati peraturan dan tak selingkuh dengan staff perusahaan selama KP di sini."
Kami pun mengulangi kalimat Sang Pembina dengan wajah cengar-cengir. Sang Pembina menceritakan sumpah ini harus dilakukan karena baru minggu lalu seorang direktur dilabrak mantan istri. Ia berselingkuh dengan seorang mahasiswi yang KP di sini. Bahkan, sang direktur yang berusia setengah baya menceraikan istrinya dan menikah dengan sang mahasiswi. Sang mantan istri pun mengamuk di kantor perusahaan dan menuduh semua staff bersekongkol menutupi perselingkuhan suaminya. Tega banget sih kalian menutupi perselingkuhan suami saya! Kalian membela suami saya dan si pelakor? Jadi bawahan memang serba salah.
Dalam artikel ini perselingkuhan akan dihadirkan dalam studi kasus agar lebih mudah dianalisis. Semoga tidak dianggap ghibah, tapi bertujuan untuk memahami motif perselingkuhan dan kiat bagaimana menghindari terjadinya perselingkuhan semaksimal mungkin. Semua nama disamarkan untuk menjaga privacy dan tak bermaksud menyindir siapa pun.
Studi Kasus 1: Perselingkuhan Suami akibat Motif Ekonomi.
Rio (49 tahun) menikah dengan Ida (49 tahun) dan dikaruniai 2 orang anak. Karena pekerjaan, ia tinggal terpisah dengan sang istri. Sudah 8 tahun ia tak pernah pulang kampung dengan alasan pekerjaannya sangat sibuk. Padahal ia tak ingin pulang karena menghindari keributan dengan sang istri yang temparemental, terutama menyangkut masalah uang.
"Sudah 2 hari hanya minum air. Mataku bergaris-garis. Sekarang ada 3 garis. Laparnya... Kemarin aku pingsan saat bertugas. Seluruh gaji dipegang istri. Tak ada sepeser pun uang. Aku malas minta pada istri. Baru satu patah kata aku berucap, ia sudah membalas ribuan kata. Tak tahan aku. Sudah dimarahi, uang pun tak dapat. Sementara ini, aku belum dapat honor sampingan. Teman-temanku juga sedang tongpes. Tak ada yang meminjamkan."( -- Rio).
Ida, istri Rio, kurang memahami kesulitan suami yang bekerja di luar pulau. Mungkin Ida takut jika Rio diberi uang, Rio akan memakai uang itu untuk pacaran. Sesalah apa pun Rio yang suka tebar pesona, tapi Ida juga sebaiknya mengingat dalam gaji yang ATM-nya dikuasainya tersebut, ada hak suami untuk makan (hak azasi manusia untuk hidup). Dalam hubungan pernikahan, terlampau curiga dan cemburu itu racun. Semakin istri cemburu, sang suami suka sengaja melakukannya (memanas-manasi).
Yang jelas, sebagai istri, tetap saja tak baik menyiksa suami dengan menguasai gaji 100%. Walaupun sang suami ada kerja sampingan, honornya tak stabil. Tidak hanya cinta, komunikasi yang baik sangat penting dalam rumah tangga. Istri harus berhati-hati jika suami mulai tidak mau berkomunikasi dan terbuka ketika menghadapi kesulitan. Apalagi jika suami sudah mulai mencurahkan hati pada keluarga atau pun sahabatnya.