Lihat ke Halaman Asli

Hari yang Baru

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sesuatu yang baru selalu menarik. Suasana baru menarik untuk dinikmati, barang baru menarik untuk dipakai, Tahun Baru menarik untuk dirayakan secara spesial, kehidupan baru menarik untuk dijalani, dan lain-lain lagi. Maka, Tuhanpun menciptakan HARI YANG BARU. Setiap 24 jam hari berganti, agar manusia (diharapkan) selalu antusias menyambut hari yang baru tersebut dan mulai beraktifitas dengan penuh semangat. Sudahkah kita benar-benar merasakan berkat itu? Atau semuanya lewat begitu saja dan tidak membawa perubahan apa-apa dalam hidup kita? Atau bahkan lebih parah lagi, semuanya terasa begitu menjemukan dan membuat capai? Mengapa?

Kalau benar hari-hari kita terasa menjemukan, kemungkinan besar kita tidak pernah bisa mensyukuri datangnya hari baru dengan pikiran yang jernih. Pikiran kita sudah penuh dengan rencana-rencana yang harus segera dilaksanakan, tanpa ada komunikasi lagi dengan Yang Memberi Hidup. Benar bahwa kita adalah Sang Pengemudi hidup kita sendiri, tapi kita lupa bahwa kita dikemudikan oleh berbagai batasan yang tidak mungkin kita terjang terus secara membabi buta. Manusia itu terbatas, bahkan sering kali sangat terbatas. Oleh sebab itu, semua aktifitas membabi buta tanpa pernah ada komunikasi dengan Yang Memberi Hidup sesungguhnya lebih menjurus ke arah KESIA-SIAAN. Hasil dari aktifitas semacam itu pada akhirnya tak punya nilai spiritualitas yang sangat dibutuhkan oleh Jiwa, hanya sekedar memenuhi kebutuhan daging. Arah berikutnya mudah ditebak: stress, ruwet, banyak masalah dengan diri sendiri dan orang lain, macam-macam penyakit bermunculan, dan ujung yang paling gelap adalah bunuh diri. Sudah banyak kita saksikan kisah-kisah tragis kesia-siaan ini.

Komunikasi dengan Yang Memberi Hidup adalah introspeksi keberadaan kita sendiri di dunia ini. Kita ini siapa? Dulu, sewaktu kecil, kita siapa? Lalu sudah sejauh apa kita tumbuh, dan sekarang siapa? Apakah perjalanan hidup yang sudah kita jalani itu memberi makna sesuai yang diharapkan Dia yang memberi hidup? Kalau kita dikaruniai talenta, maka Dia yang memberi talenta berharap agar kita menghasilkan minimal sebesar talenta yang dikaruniakan itu. Kalau Beliau memberi 1 talenta, Beliau berharap kita bisa menjadikannya 2 talenta atau lebih. Dengan begitu, dunia tidak semakin mundur tapi semakin maju karena sumbang sih kita semua. Kita dikaruniai akal budi, agar kemajuan yang kita capai tidak hanya sebatas fisik atau materi, tetapi juga mengisi batin kita dan memperkuatnya untuk semakin bisa bersilaturahmi dengan Beliau. Keduanya harus berjalan seimbang, karena manusia memang terdiri dari badan dan jiwa. Ketidak-seimbangan pasti membuat goyah dan sakit.

Tidak perlu mempersoalkan seberapa besar talenta, status dan kepercayaan yang diberikan kepada kita. Biar kecil atau besar, terimalah itu apa adanya dan bertanggung-jawablah untuk itu. Jangan diberi kecil kita marah lalu membuangnya, merajuk dan tak mau berbuat apa-apa. Tidak ada sesuatu yang besar muncul mendadak begitu saja, kalau adapun akan cepat kempes lagi karena isinya hanya angin. Jangan menginginkan sesuatu yang instan, karena proses memberi banyak masukan untuk kita meraih kemajuan yang lebih berarti. Sesuatu yang kecil kalau dipelihara dan dijaga serta ditumbuh-kembangkan dengan benar akan segera jadi besar. Kitalah yang dipercaya untuk menumbuh-kembangkannya. Sebaliknya, kalau diberi peran besar, semakin waspadalah, karena sesungguhnya semakin mudah orang menjadi lupa diri karena harta dan kekuasaan. Jangan hanya memikirkan keluarga sendiri, karena komunitas binatangpun memikirkan keluarga dan kelompoknya masing-masing. Manusia tentu diharapkan lebih dari itu, apalagi jika mereka diberi banyak kelebihan untuk berbuat seperti itu.

Berkomunikasilah dengan Dia yang memberi hidup melalui segala hal yang ada di sekeliling kita. Jangan berharap Dia akan bicara langsung dengan kita, karena kita tak akan kuat mendengar suaraNya. Dia sudah bicara kepada kita setiap saat melalui segala hal yang ada dan terjadi di sekeliling kita, dan itu sudah lebih dari cukup.

Kalau setelah meninjau seluruh perjalanan hidup kita dan kita menemukan banyak kegagalan, jangan kawatir. Dengan bisa melihat kegagalan, itu artinya kita calon orang yang berhasil di masa mendatang. Bangkit dan benahilah, jangan jadi keledai yang terantuk lubang yang sama berkali-kali. Pada saat kita berhasil kelak, Dia akan mempercayakan hal yang lebih besar kepada kita. Berbahagialah karenanya, karena seorang yang kecil, lebih kecil dari hamba, telah diberi kepercayaan lebih besar oleh Tuannya. Mari kita hidup dalam KELUARGA BESAR bersama Tuhan dan kita syukuri HARI YANG BARU dengan semangat baru yang diberkati oleh Dia. GBU all.

Selamat Natal dan Tahun Baru bagi yang merayakan, bacalah juga link di bawah ini:

http://filsafat.kompasiana.com/2009/12/17/roh-natal/

http://filsafat.kompasiana.com/2009/12/25/khotbah-natal-yang-kreatif/

***************

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline