Pagi itu Pat Kay sungguh gelisah dan sedih sekali. Semalaman dia menangis. Temannya, Sun Go Kong, tak bisa menghiburnya. Bagaimana tidak sedih dan prihatin: Sebagai Dewa Babi ia bertanggung-jawab akan nasib semua anak buahnya di Bumi. Gara-gara nama penyakit flu dikaitkan dengan babi, maka terjadilah pembantaian terhadap komunitas anak buahnya di Bumi. Babi yang sudah dianggap haram itu sekarang benar-benar diharamkan oleh seluruh dunia. Maka Pat Kay terus menangis sesenggukan. Ia terpaksa menunggu gurunya, pendeta Tong, yang sedang khusuk bersemedi dan tak bisa diganggu, mengharap dia segera bangun. Ia ingin segera curhat dan minta nasehat untuk mengatasi masalah besar itu. Ia meratap dan terus memaki-maki manusia:
“Dasar manusia goblok!, yang bodoh mereka kok yang dibunuh babi! Goblok, goblok…, kapan pinternya ….. Oh Paduka….”
Ratapan dan makiannya sepanjang malam itu membuat Sun Go Kong ikut prihatin. Bukan tidak mungkin nasib anak buahnya sendiri di Bumi kelak sama dengan nasib para babi itu: dibantai! Sekarangpun sebenarnya ia sudah marah besar melihat komunitas kera di Bumi banyak diekploitir dan disiksa oleh manusia dengan dalih untuk penelitian ilmiah atau bahkan otaknya dimakan mentah-mentah untuk obat-obatan! Sungguh gila dan menjijikan. Membayangkan semua itu mukanya menjadi merah-padam karena marah. Iapun menunggu gurunya bangun dari semedi untuk ikut-ikutan curhat. Kalau perlu ia sudah siap turun ke Bumi untuk memporak-porandakan manusia Bumi yang dianggapnya amat keterlaluan dan semaunya sendiri.
Menjelang matahari terbit, bangunlah guru mereka dari semedi. Tangannya merentang ke atas dan mengucap syukur pada Sri Paduka penguasa alam atas berkatNya yang melimpah. Ia bersujud dan kemudian bangun dengan anggunnya. Melihat gurunya bangun, Pat Kay dan Go Kong segera menghambur menghampirinya dan bersujud. Pat Kay tak bisa lagi membendung tangisnya, meledak sejadi-jadinya. Diantara tangisnya ia mengadu:
“Guru…, ada masalah besar dengan para babi…”
Gurunya menghela nafas sebentar dan manggut-manggut. Sebenarnya telinganya yang sudah tua itu telah salah dengar. Ia mendengar kata “babi” sebagai “baby”, maka iapun menasehati muridnya berdasarkan yang ditangkapnya:
“Muridku, dari dulu aku juga sudah sering bilang. Manusia Bumi jaman sekarang ini banyak yang aneh-aneh. Semua orang dipanggil “baby”: Teman sekolah dipanggil “baby”; teman “face-book” dipanggil “baby”; sekretaris juga lama-lama dipanggil “baby”; bahkan pemandu bola..eh…sorakpun sering dipanggil “baby”. Kaum perempuan itu kalau mendengar sebutan “baby” hatinya langsung berbunga-bunga. Lha dasar laki-laki, sengaja memanfaatkan kelemahan perempuan itu untuk menangguk untung bagi diri sendiri. Maka lama-lama terjadilah banyak perkeliruan: “Selingkuh itu indah”, “Selingkuh itu mudah”, dan macam-macam lagi yang melahirkan “baby” beneran. Itulah akibat budaya “baby-baby”an yang melahirkan banyak masalah di dunia manusia. Tetapi mengapa kamu menangisnya sampai demikian sedih, Pat Kay? Apa urusannya denganmu yang setiap hari cuma mikir makan dan tidur?”
“Bukan itu yang hamba maksud, Guru, tapi para babi….”
“Hahhh…?! Babi?? Ada apa dengan babi? Ya jelas semua orang akan marah kalau disebut babi. Itu kan kasar sekali, Pat Kay… Mbok kamu ini sadar diri, kalau dibilang buruk rupa ya jangan menangis seperti ini.. Terima sajalah dengan legowo…”
“Juga bukan itu, Guru, tapi…para babi, anak buah hamba di Bumi, mau dibantai semuanya sama manusia….!! Hamba harus bertindak, Guru… Sun Go Kong siap menemani hamba melabrak manusia Bumi… Mereka kurang ajar dan tak tahu diri: mereka yang bodoh tapi menyalahkan para babi yang tak tahu apa-apa…. Mereka harus diberi pelajaran!! Hamba hanya menunggu Guru bangun dan mohon pamit untuk menghajar manusia Bumi…”
Kagetlah sang Guru. Murid-muridnya ini, yang setiap hari dikuliahi pelajaran rohani olehnya, menjadi demikian liar bola matanya setelah dia amati benar-benar. Sadarlah ia, ada yang benar-benar ga beres dengan para murid ini. Maka ia menanyakan duduk persoalannya dengan amat serius.
“Persoalan apakah yang membuatmu demikian marah?”
“Anak buah hamba mau dibantai semua gara-gara dianggap sebagai penyebar penyakit flu babi. Padahal mereka tak tahu apa-apa. Yang bodoh kan manusia sendiri: mengapa mereka sampai kalah sama virus yang sekecil itu?”
Sun Go Kong juga menimpali:
“Benar, Guru. Hamba juga sakit hati. Anak buah hamba banyak yang dibunuh dan disiksa dengan alasan untuk penelitian ilmiah. Belum lagi kalau nanti ada wabah flu monyet, pasti nasib anak buah hamba sama dengan anak buah Pat Kay sekarang. Manusia Bumi itu kerjanya rata-rata cuma ngurusi duit dan kekuasaan terus, lupa belajar ilmu pengetahuan dan mengembangkannya bersama dengan benar untuk kebutuhan mereka sendiri. Kalau ada wabah penyakit, yang disalahkan mahluk yang ga tau apa-apa seperti babi dan unggas itu. Mereka brengsek dan pengecut, maka hamba juga sudah habis kesabarannya dan ingin membantu Pat Kay menghajar mereka.”
Sadarlah sang Guru, bahwa muridnya tak main-main. Terlihat jelas dimatanya sinar kemarahan yang amat membakar. Hanya dengan sekali anggukan kepalanya saja, maka gawatlah nasib manusia Bumi. Tak akan ada yang mampu membendung kemarahan si Kera Sakti Sun Go Kong yang sudah pernah mengobrak-abrik Khayangan dan tak ada satu Dewapun yang sanggup melawannya. Tindakannya baru berhenti ketika kekuatan Budha menindihnya dengan gunung selama 500 tahun. Juga akan banyak korban serudukan Pat Kai yang gelap mata. Maka ia harus segera mencegah semua itu terjadi.
“Siancay….siancay…. Kekerasan hanya mendatangkan kerusakan, permusuhan dan dendam. Yang keras mudah patah; Yang lentur bertahan. Kekerasan adalah teman kematian dan kelenturan adalah teman kehidupan. Bertahun-tahun kalian mengikuti perjalananku dengan setia, belajar bersama tentang Cinta Kasih yang maha lembut dan Kuasa yang menyejukkan. Tapi hari ini kulihat sinar matamu hanya ingin membunuh dan membunuh…. Kalian seperti tak percaya akan jalan Sri Paduka. Kalian ternyata masih lebih percaya akan jalan diri sendiri.”
“Ampunkan hamba, Guru, tetapi siapakah yang akan memberi pelajaran kepada manusia Bumi yang begitu kurang ajar dan bodoh?”
“Alamlah yang akan memberi pelajaran kepada mereka sendiri, karena alam itu diciptakan Sri Paduka untuk mereka agar bisa belajar dan belajar. Pada dasarnya mereka bukan mahluk bodoh, tapi lebih cenderung membiarkan dirinya dirasuki kebodohan. Dalam diri manusia itu terkandung unsur binatang dan mahluk mulia. Dalam banyak hal mereka lebih memilih menjadi binatang daripada menjadi manusia, karena menjadi manusia yang benar itu sulit dan menjadi binatang itu mudah; sama halnya dengan berbuat benar itu sulit dan berbuat jahat itu mudah. Tetapi Sri Paduka tak pernah tidur sekejappun menjaga seluruh isi alam dan keseimbangannya, termasuk menjaga komunitas anak buah kalian. Oleh sebab itu, janganlah kalian menuruti hati sendiri, tetapi bersatulah dengan rencana Sri Paduka yang lebih besar dari rencana kalian sendiri, biarpun hal itu mungkin membuat hati kalian sakit. Kalian hanya berhak mengawasi dan mencermati terus apa yang akan terjadi kemudian. Akan ada saatnya aku mengijinkan kalian bertindak bila aku telah melihat perintah itu datang padaku melalui indera khususku. Sekarang tenangkanlah hati kalian dan percayakanlah semuanya kepada rencana Sri Paduka.”
Lemaslah Pat Kay dan Go Kong. Bahkan Pat Kay langsung tidur telentang dan menendang-nendangkan kaki tangannya seperti anak kecil yang merajuk dan terus menangis, sementara Go Kong tertunduk lesu. Ia mencerna semua kalimat gurunya dengan tenang dan mampu melihat kebenaran yang tersembunyi dibalik nasehat itu. Apalah arti dirinya dengan kekuasaan Sri Paduka yang demikian besarnya? Kalau dia harus merusak Bumipun, apakah yang akan ia dapatkan dari perbuatan seperti itu? Andaikata dia hajar manusia Bumi dan setengah darinya mati tercabik-cabik, apakah yang akan ia dapatkan sesudahnya? Bukankah penyakit akan meraja-lela dan komunitas anak buahnya sendiri yang terancam? Ia menghela nafas panjang berkali-kali, mengusir hawa marah yang sudah menutupi seluruh syaraf tubuhnya. Tiba-tiba ia mendengar gurunya berbicara:
“Pat Kay, bangunlah! Mari kita tengok situasi Bumi!”
Pat Kay bangun dengan masih sesenggukan dan mereka bertiga terbang menuju Bumi. Pendeta Tong sengaja tidak membawa Pat Kay dan Go Kong ke negeri Arab karena dari penglihatannya yang tajam ia bisa melihat bahwa disana banyak anak buah Pat Kay yang dibantai. Ia mengajak mereka menuju Indonesia yang maha santai. Ia tahu pasti: penduduk Indonesia itu dalam hal tertentu luar biasa hebat. Coba saja tengok: di tengah wabah flu burung yang mengganas, mana ada yang panik seperti di Meksiko atau Amerika dan Negara-negara lain di dunia? Rata-rata cuek dan santai, seperti tak ada masalah yang luar biasa, semua berjalan seperti biasa: tak ada yang hidungnya ditutup-tutupi masker, yang mati ya biar mati, yang ribut ya biar ribut sendiri, gimana nasib aja. Ke negeri seperti itulah pendeta Tong sambil tersenyum-senyum mengajak muridnya pergi.
Sesampainya di atas Indonesia, pendeta Tongpun mulai mengajak muridnya ngobrol.
“Coba lihat negeri itu. Mana ada yang ribut seperti ceritamu, Pat Kay? Semua tenang-tenang aja, kan? Para anak buahmu juga tak banyak yang dibantai, kecuali memang untuk makanan bagi yang suka dagingnya. Wajar aja, kan? Tugasmu kan juga pensuplai daging?”
“Kalau untuk kebutuhan makanan, sih, hamba rela, Guru, tapi kalau dibantai untuk dimusnahkan semuanya karena dianggap biang keladi kehancuran, hamba sungguh tak rela. Tapi hamba bisa mencium aroma unggas yang dibantai. Mungkin negeri ini lebih banyak terserang flu burung. Tapi memang negeri ini aneh, kok rakyatnya tenang-tenang aja? Apa mereka memang kuat imannya, Guru? Tak takut mati?”
“He..he..he.. Ada dua alasan, Pat Kay: Pertama, mungkin benar mereka kuat imannya dan percaya sepenuhnya pada pemeliharaan Sri Paduka. Yang kedua, mungkin mereka hidupnya sudah amat susah dan tak mau disusahkan lagi oleh kejadian apapun juga. Jadi mereka berprinsip: kalau mau mati ya mati aja, hidup juga ga gampang kok, mati belum tentu lebih ga enak. Apa yang akan terjadi, terjadilah!”
“Wah.., itu sih frustrasi dan apatis namanya, Guru. Ga baik kalau sikapnya seperti itu, seperti kurang menghargai berkah kehidupan dari Sri Paduka.”
“Ya.., sih, mungkin sudah capai dan belum tersentuh pencerahan yang memadai, termasuk dari segi ekonomi maupun tatanan bernegara. Semuanya masih serba bolong-bolong: banyak korupsi, kemiskinan, kebodohan, dan macam-macam lagi. Semuanya membentuk lingkaran setan yang susah diurai. Para petingginya banyak berebutan kekuasaan bukan untuk membela rakyatnya yang menderita, tapi lebih banyak yang bermaksud mau menyelamatkan hartanya yang luar biasa banyaknya agar tidak diutak-atik darimana asalnya. Sebagian lagi bertujuan untuk mencari proyek di sana, maka dalam pemilu legislatif selalu banyak calon-calonnya yang mengadu untung dengan cara yang tak ada bedanya dengan judi. Bisa dibayangkan, dalam negeri seperti ini, apa yang akan terjadi ketika mereka-mereka itu menjabat? Sistem perekrutan pejabat tingginya sangat kacau, dan rakyat selalu dihadapkan pada pilihan yang tak mereka mengerti. Ketika mereka masuk ke bilik pemilu, mereka banyak yang terlongong-longong mencermati nama-nama calon yang sama sekali mereka tak tahu orangnya. Dalam praktek sehari-haripun akan selalu sering terjadi jegal-menjegal, kutuk-mengutuk, bantai-membantai, rayu-merayu dan macam-macam tindakan absurd lainnya, baik secara terang-terangan kasar maupun konspirasi tingkat tinggi diantara semua pelakunya. Kasihan rakyatnya. Mereka sesungguhnya sudah amat capai dan mulai apatis.”
Tiba-tiba Sun Go Kong terkesiap kaget. Mereka tiba di atas hutan yang gundul dan tebangan kayu berserakan dimana-mana.
“Guru, apa yang mereka perbuat? Bagaimana nasib anak buah hamba bila tempat tinggalnya diporak-porandakan seperti itu?”
Sun Go Kong baru selangkah mau melesat menuju tempat tersebut, tapi pendeta Tong memegang ekornya dari belakang.
“Sabar, Go Kong. Jangan membuat onar di Bumi. Ingat peristiwa di Khayangan dahulu: Semua kamu labrak dan akhirnya menyusahkan kamu sendiri. Jaga emosimu, karena kalau tidak, maka tindakanmu akan sama buruknya dengan para perusak lingkungan dan kroni-kroninya itu. Aku akan malu mempunyai murid sepertimu.”
Sun Go Kong mengurungkan niatnya, tapi kegelisahannya tak bisa disembunyikan.
“Guru, tolonglah selamatkan para anak buahku. Lama-lama mereka akan punah kalau tempat tinggalnya digusur seperti itu.”
Pendeta Tong menghela nafas dalam-dalam. Hatinya amat sedih melihat keserakahan umat manusia yang telah mengeksploitir alam sampai sedemikian rupa rusaknya. Pantaslah kalau Sri Paduka sendiri sampai sedemikian marah dan mengijinkan banyak bencana terjadi di Bumi. Ia tak bisa menolak permintaan Go Kong.
“Baiklah, segera kumpulkan anak buahmu dan kita terbangkan ke tempat lain.”
Dengan amat semangat Sun Go Kong bersuit nyaring dengan frekwensi amat tinggi. Para monyet terperanjat mengenali suara junjungannya. Mereka berhamburan cepat sekali mencari datangnya arah suara. Dalam sekejap ribuan monyet telah berkumpul di lapangan yang telah gundul. Pendeta Tong, Sun Go Kong dan Pat Kay bergerak cepat menerbangkan seluruh monyet dan semua binatang lainnya ke hutan yang masih asri. Bersuka-citalah seluruh isi hutan. Mereka ibarat rakyat jelata tak berdaya yang mendapat pertolongan dari pemimpin yang kuat dan bijaksana!
****************
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H