Ide membuat sodetan sungai Cisadane untuk mengurangi dampak banjir ke arah Jakarta telah digulirkan Jokowi-Ahok dan akhirnya dibatalkan karena dinilai berbahaya untuk wilayah Banten, Tangerang dan sekitarnya. Keputusan bersama yang diambil adalah segera melakukan normalisasi sungai dengan cara mengeruk. Entah itu merupakan keputusan final atau hanya keputusan sementara karena jalan buntu dan kehabisan akal.
Ketika mengetahui bahwa sodetan sungai Cisadane dibatalkan (semoga hanya sementara) dengan alasan akan memindahkan banjir ke wilayah Banten dan sekitarnya, yang ada dalam benak saya adalah membayangkan yang kira-kira dipikirkan para pimpinan daerah tersebut. Dugaan saya yang paling kuat adalah, bahwa mereka, sama halnya dengan kebanyakan orang lain, pasti berpikir bahwa sebuah sodetan sungai pastilah berbentuk sungai juga yang sifatnya terbuka dan bisa meluap serta menerjang kemana-mana.
Memang aliran sungai bisa diatur dengan pintu-pintu air, tetapi tetaplah menimbulkan kekawatiran buat wilayah yang dilalui: “Ya kalau sistemnya berjalan benar, kalau tidak? Yang celaka ya daerah yang dilalui.” Tak ada yang bisa menjamin aman 100%, malahan nantinya bisa menimbulkan saling tuding siapa yang paling bertanggung-jawab ketika banjir besar melanda daerah-daerah yang dilalui.
Jalan pikiran di atas wajar dan umum, tapi menurut saya kurang luas dan kurang jeli. Ada satu hal penting yang tidak pernah dipikirkan sampai mereka mengambil keputusan bersama untuk membatalkan. Hal tersebut adalah, bahwa sodetan sungai bisa berupa gorong-gorong tertutup dengan diameter yang cukup besar (antara 5 – 10 m). Dengan sistem gorong-gorong tertutup tersebut, jelas tidak mungkin muncul kekawatiran akan mengalihkan banjir ke wilayah lain.
Mari kita kaji lebih jauh sistem sodetan sungai dengan membuat gorong-gorong tertutup tersebut:
1.Jika Pak Jokowi cs punya ide membuat sodetan sungai, tentu mereka sudah berpikir tentang jalur yang akan dilalui dan kemana membuangnya. Jalur tersebut tentu bisa juga dipakai untuk menanam gorong-gorong. Jadi persoalan jalur sudah tidak menjadi masalah. Malahan dengan sistem gorong-gorong yang tertimbun di dalam tanah, tidak perlu mengorbankan fungsi lahan bagian atasnya (masih bisa dipakai untuk aktivitas manusia), berbeda jika wujudnya adalah sungai terbuka.
2.Dari segi teknologi pelaksanaan juga tidak akan menjadi hambatan. Pak Jokowi pernah punya ide membuat “deep tunnel” berdiameter sampai 40 m, maka kalau hanya membuat gorong-gorong berdiameter sekitar 5 – 10 m ya jauh lebih mudahlah..
3.Gorong-gorong ini punya fungsi lain yang tidak kalah pentingnya, karena ruang gorong-gorong bagian atas bisa dimanfaatkan untuk menyimpan jaringan kabel-kabel listrik dan serat optik bawah tanah yang selama ini malang-melintang di dalam kota. Hal ini juga menjadi sebuah jalan keluar untuk merapikan jaringan-jaringan kabel/pipa bawah tanah yang acak-acakan dan menjadi penyumbat banyak gorong-gorong pembuangan air limbah dan air hujan dan sering menjadi penyebab banjir. Dengan demikian biaya pembangunannyapun bisa ditanggung banyak instansi, baik pemerintah maupun swasta.
4.Mungkin membuat gorong-gorong seperti ini biayanya lebih mahal dibandingkan dengan membuat sodetan sungai terbuka. Tetapi persoalan mahal itu relatif dan sebenarnya tidak etis menjadi persoalan utama, sebab bisa dibandingkan dengan kerugian masyarakat luas akibat banjir dimana-mana yang berlangsung selama puluhan tahun. Selain itu, karakter sungai terbuka dan gorong-gorong tertutup pasti lain dan masing-masing punya kelebihan/kekurangan tersendiri. Kedua kemungkinan itu bisa digabungkan untuk memperoleh hasil paling efisien. Jadi gorong-gorong dibangun di tempat yang riskan kemungkinan banjirnya jika dilalui sodetan terbuka, sedangkan sodetan terbuka dibangun di wilayah yang pasti aman.
Di bawah ini saya buatkan sedikit sketsa pemikiran saya tentang sodetan sungai dengan sistem gorong-gorong atau terowongan air.
Demikian sekilas sumbangan pemikiran saya, mudah-mudahan berguna setelah disempurnakan oleh para pemikir lainnya. Untuk Pak Jokowi-Ahok, tetap semangat biarpun mumet. Paling penting harus tetap percaya, bahwa Tuhan tidak mungkin diam saja melihat umatnya berusaha berbuat benar dan baik. Di dalam Tuhan tak ada yang tak mungkin, jadi jangan lupa berdoa. GBU.
Sumbangan pemikiran saya lainnya bisa dibaca disini:
3.http://jakarta.kompasiana.com/layanan-publik/2013/11/24/tanggul-sungai-di-jakarta-610904.html
***********************
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H