Sebanyak 40.000 kapal melintas setiap tahun, memiliki 250 pulau dan terumbu karang, dikelilingi sepuluh negara pantai, menjadi jalur tersibuk kedua di dunia dan dijuluki maritime superhighway adalah gambaran kawasan Laut Cina Selatan (LCS). Namun, kondisi di kawasan itu menjadi sengketa saat munculnya tumpang tindih klaim atas wilayah kelautan, terutama klaim Tiongkok yakni Nine Dash Line.
Secara sepihak dan merujuk historis traditional fishing ground sepanjang 94.000 Kilometer persegi, membuat Tiongkok sebagai major claimant state harus berhadapan dengan lima negara pantai yang masing-masing punya alasan klaim atas wilayah di LCS, yaitu Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam dan Taiwan. Indonesia tidak memiliki klaim atas wilayah LCS, tetapi menjaga yurisdiksi perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di kepulauan Natuna Utara, yang mengubah peta konflik LCS ketika kapal-kapal Tiongkok melakukan IUU Fishing di sana.
Sebuah studi alumni Universitas Pertahanan mengemukakan perseteruan Indonesia-Tiongkok terjadi sejak 2013. Diawali oleh nelayan Tiongkok masuk ke perairan Natuna dan penangkapan ikan ilegal sampai patroli coast guard di ZEE Indonesia karena termasuk wilayah Nine Dash Line. Hal ini membuat Pemerintah Indonesia perlu menjaga kedaulatan di Laut Natuna Utara.
Ketegangan tujuh negara di LCS tidak lepas dari pengaruh ekstra-regional, aliansi Quadrilateral Security Dialogue (Quad) yang diusung Amerika Serikat, India, Australia dan Jepang untuk kawasan Indo-Pasifik sebagai penantang Cina. Dalam kacamata politik global, negara major power Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) sedang berseteru dengan show of force di LCS. 7 April lalu, AS, Filipina, Australia dan Jepang melakukan operasi militer gabungan angkatan laut dan angkatan udara. AS memiliki agenda besar melalui angkatan laut dengan kebebasan navigasi (freedom of navigation) melawan klaim Nine Dash Line.
Sementara itu, Tiongkok tidak mau kalah juga menyelenggarakan patroli militer di hari yang sama. Kepulauan Spratly menjadi klaim Tiongkok yang juga diperebutkan Filipina, sekutu AS. Dua negara ini merepresentasikan eskalasi konflik AS-Tiongkok beradu kekuatan menguasai LCS. The New York Times mencatat Tiongkok selama 3 tahun terakhir memperluas jangkauan patroli militernya dan membangun pangkalan militer di Spratly.
Di sisi lain, mengatasi overlapping klaim LCS sudah lama menjadi pembahasan ASEAN pada tahun 2002 dengan Declaration of Conduct of Parties on South China Sea. Namun, itu tidak menjadi penyelesaian akhir. Diplomasi Asian way --mengedepankan budaya ketika konflik-- juga belum berhasil menjaga stabilitas laut. Kemudian, upaya apa yang diperlukan untuk membendung prahara di LCS yang mengancam kedaulatan Indonesia?
Ruh Kepemimpinan ASEAN
Tantangan ASEAN menghadapi konflik Laut Cina Selatan semakin runyam, ketika peran ASEAN sebagai fasilitator mulai ditinggal oleh negara-negara anggotanya. Kawasan LCS menjadi satu lokasi strategis Tiongkok mempengaruhi kebijakan luar negeri anggota ASEAN. Dari Studi jurnal Harmony, kebulatan suara negara-negara ASEAN dalam prahara ini belum bisa tercapai karena dua hal: persepsi ancaman dan keuntungan ekonomi dari Tiongkok.
Tentu bukan hal mudah mengonsolidasikan keputusan kolektif, maka peran Indonesia sebagai salah satu anggota ASEAN berguna untuk menjembatani resolusi konflik (non-claimant honest broker). Selain itu, kepemimpinan de facto Indonesia seharusnya mampu mengupayakan agar negara-negara ASEAN dapat bekerja sama dan menjaga stabilitas demi perdamaian regional Asia Tenggara.
Hubungan ASEAN-Tiongkok patut dibangun kembali dengan keseimbangan koalisi anggota ASEAN menanggapi konflik LCS. Sebab, Tiongkok menggunakan cara hubungan bilateral antara negara penuntut klaim ketimbang ASEAN. Apa yang dilakukan Tiongkok membuat melemah kekuatan ASEAN. Selain itu, Belt and Road Initiative (BRI) sebagai ambisi negara tirai bambu ini memperkuat ekonomi mereka melalui jalur sutra baru, yang menandakan ekspansi ekonomi Tiongkok di Asia Tenggara membuat ASEAN berhati-hati.