Memasuki umur dewasa 20 tahun lembaga negara pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia adalah kekuasaan kehakiman yang menjamin hak-hak konstitusional ditegakkan sejalan dengan konstitusionalisme.
Cita-cita yang bermula sejak era pra-kemerdekaan oleh Muhammad Yamin dalam mempersiapkan kemerdekaan 1945 baru diamini pada tahun 2003 pasca amandemen ketiga Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Kelahiran MK untuk menjalankan peradilan konstitusional (constitutional adjudication) dari awal hingga final merupakan kewenangan absolut yang diatur dalam pasal 24 C ayat (1) UUD 1945.
Menyinggung persoalan konstitusional, ada perbedaan cukup tajam antara hak konstitusional dan hak hukum (legal rights) bahkan hak asasi manusia (human rights). Pendapat ini pernah dikemukakan hakim ketua MK pertama, Jimly Asshiddiqie, bahwa hak hukum adalah hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bawah UUD atau subordinate legislations.
Keduanya menurut Jimly merupakan pembagian atas hak warga negara (the citizen's rights). Sementara Hak Asasi Manusia (HAM) memiliki cakupan yang lebih luas yang melekat pada setiap manusia.
Dan hak konstitusional, bagian dari hak warga negara hanya terbatas pada lingkup suatu negara. Pendek kata, tidak semua HAM bisa termasuk dalam hak konstitusional disebabkan mengikuti konsensus yang dirumuskan dalam konstitusi itu sendiri.
Independensi Menjamin Hak Konstitusional
Apa yang telah diuraikan mengenai hak konstitusional, dalam konteks negara Indonesia, hak hidup, hak kesejahteraan, hak perempuan, hak anak, hak berkeluarga, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa nyaman dan lainnya adalah keharusan MK menjamin keberlangsungan hak-hak tersebut.
Untuk itu, salah satu cara di mana MK mampu menjaminnya adalah penerapan independensi MK menjalankan kewenangannya. Pengaturan hakim MK dalam pasal 24 C UUD 1945 selanjutnya diatur oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 menegaskan bahwa MK terbebas dari pengaruh lembaga kekuasaan lainnya.
Mencapai 'bebas dari pengaruh lembaga kekuasaan lain' berarti MK dalam menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara adalah hasil keputusan seluruh hakim MK tanpa adanya intimidasi, kepentingan politik, penyuapan bahkan pengaruh kekeluargaan.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat beberapa hakim terlibat dalam kasus penyuapan dan membocorkan draf putusan MK yang rahasia. Ini menandakan gejala preseden buruk kinerja MK terhadap warga negara menguat nya ketidakpercayaan publik (public distrust) untuk menguji UU agar hak konstitusional terjamin.