Persoalan lingkungan hidup sudah sering diperbincangkan, didiskusikan sampai aksi di berbagai negara, seperti Aktivis lingkungan perempuan asal Swedia, Greta Thunberg di usia muda beberapa kali ditangkap karena menyuarakan krisis iklim dan pemanasan global.
Tentu lingkungan yang baik dan sehat adalah hak manusia yang diakui berbagai negara dalam konstitusinya. Oleh karena itu, mengenali konsep green constitution memasukkan masalah lingkungan kepada konstitusionalisme norma hukum.
Di Indonesia, memang telah diatur terkait hal instrumen perlidungan lingkungan hidup dalam pasal 28 H ayat (1), pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Namun begitu, masih banyak orang yang belum memahami konsep green constitution secara filsofis.
Green constitution, mengambil pendapat MP Nur Fauzan, adalah gagasan tentang konstitusi yang sebenarnya mengatur relasi politik suatu negara dalam membentuk struktur politik yang ramah lingkungan.
Umpamanya, dalam negara demokrasi yang memilih pemimpin dengan suara terbanyak melalui Pemilihan Umum (Pemilu), perlu juga mempertimbangkan kampanye nyata tokoh tersebut dengan kebijakan yang dibuat, tetapi tidak sebatas itu saja.
Manusia sering melihat, kerusakan alam selalu disebabkan dari dua hal, yaitu faktor manusia dan faktor alam. Artinya, manusia dan alam merupakan subjek yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Lingkungan, sebagai subjek yang memiliki hak untuk terus berlangsung dengan stabil dan berimbang. Dan, manusia memiliki kewajiban etik menjaga keserasian alam.
Demikian, konsitusi yang menjadi alat yang mengatur relasi politik perlu mencerminkan hukum berbasis kepentingan lingkungan (environment oriented law).
Melihat kerusakan alam akibat aktivitas industri, konsumsi massa, gaya hidup modern dan keserakahan manusia menumbuhkan kesadaran dan kepedulian ekologis.