Lihat ke Halaman Asli

Mohamad Akmal Albari

Mahasiswa Hukum Tata Negara

"Child Free" Sebuah Kontemplasi Kompleks Pasangan

Diperbarui: 11 Februari 2023   20:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi wanita child free/Pexels

Hidup perlu diromantisasi, menjadi wanita atau pria yang memiliki kodrat masing-masing saling melengkapi kekurangan. Untuk itu, Sang Pencipta menorehkan kuasa-Nya pada alam semesta dengan berpasang-pasangan.

Dunia itu unik dan beragam, sebuah pilihan tanpa pertimbangan akan menjadi penyesalan. Saat di lalu lintas ada yang dikenal car-free day, begitu juga dalam pernikahan ada pilihan child free antara kedua pasangan.

Gemah ripah orang-orang mendukung dan menolak fenomena child free, ibarat call to act or deny atas statement Gita Savitri, yang akrab dengan Gitasav. Memilih child free itu kembali atas persetujuan kedua pasangan, setelahnya tidak akan terasa bagaimana peran orang tua atas tanggungan anak.

Menggaungkan child free senyatanya mengkampanyekan gerakan feminisme National Organization for Non-Parent (NON) kala itu di Amerika Serikat tahun 1970-an. Tanggal 1 Agustus adalah perayaan mereka pada momen International Childfree Day. 

Tidak ada yang salah memperjuangkan hak, yang ada kekeliruan perjuangan tidak dalam konteksnya. Emansipasi wanita sudah menghadirkan Kartini-Kartini baru dalam gerakan feminisme.

Memiliki anak adalah bentuk kebahagiaan dan pencapaian pasangan, kelak menjadi ayah dan ibu bisa menghasilkan keturunan yang membanggakan. Kewajiban lelaki menafkahi dan mendorong keluarga lebih baik tidak kalah atas jasa ibu sebagai madrasah pendidikan pertama.

Menjadi wanita yang tidak mengandung, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak berakibat disfungsi seksual dan emosional. Masalah stres dan lelah mengurus anak akan tiada, tapi apakah itu membuat bahagia sepenuhnya?

Lantas, dengan tidak adanya anak akankah menimimalisir bencana bonus demografi Indonesia di puncak satu abadnya. Terlepas dari ajaran agama dan budaya, rupanya child free menguntungkan kelompok wanita semata.

Lelaki setuju pun, pasti menimbulkan kecemburuan dari para ayah lainnya. Kampanye "my body my right" dan "my body my choice" tidak memikirkan rasa empati wanita golongan child less.

Dimana child less, yang tidak bisa menghasilkan anak sangat mendambakan diri mereka menjadi orang tua. Regenerasi anak emas bangsa akan terhalangi jika child free tumbuh dan mengakar di Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline