Lihat ke Halaman Asli

Mohamad Akmal Albari

Mahasiswa Hukum Tata Negara

Mahasiswa Pustakawan Melalui Humanistic Approach

Diperbarui: 25 November 2022   20:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok.Pribadi

Idealisme mahasiswa tidak lepas dari fungsi agent of change bukanlah hal baru dalam dunia kampus. Melalui fungsi tersebut, masih banyak mahasiswa minim bacaan hingga acuh terhadap pembelajaran di kampus. Klise "mahasiswa yang intelek dan kritis" selalu dikumandangkan sebagai jati dirinya. 

Terlepas dari hal itu, kemanfaatan atas peran mahasiswa atas bacaan-bacaan sekali lagi perlu di distribusikan pada masyarakat umum. Mahasiswa tidak aktif di kampus saja, agar menjadi aktor perubahan sosial menjadi kewenangan dan keistimewaan pribadi. Alangkah baiknya keistimewaan itu mampu berhubungan secara sosial dan inklusif.

Perpustakaan inklusi sosial menjadi target dari pembangunan keberlanjutan baik untuk informasi berkualitas, penguatan literasi, konektivitas atas akses teknologi membutuhkan agen-agen yang kompeten. 

Mahasiswa merupakan salah satu aktor kompeten untuk menjadikan perpustakaan berbasis inklusi sosial berdampak total. Dengan pendekatan manusia (humanistic approach) memandang bahwa perpustakaan sebagai sub sistem sosial dalam sistem kemasyarakatan. Perancangan perpustakaan agar memiliki manfaat yang tinggi dan merupakan ruang terbuka bagi seluruh elemen masyarakat.

Kegiatan literasi di kampus hijau juga tidak asing, pegiat literasi, aktivis dan jurnalis memiliki bacaan tajam dan kosmoplitan. Kemampuan seperti ini sangatlah dibutuhkan untuk kemajuan perpustakaan mana pun, terkhususnya perpustakaan berbasis inklusi sosial. Lantas, selama ini perpustakaan masih kurang optimal dan efisien untuk berbagai golongan?

Transformasi perpustakaan sepintas terlihat monoton, orang-orang meminjam buku hingga tenggat waktu, lalu mengembalikan atau perpanjang peminjaman. 

Perpustakaan sejatinya tempat pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat, tidak akan menarik lagi karena masyarakat berpikir untuk membeli buku dan enggan datang ke perpustakaan. 

Untuk itu, tujuan perpustakaan berbasis inklusi sosial menyediakan pendidikan yang berkualitas dan proporsional. Melirik pasal 5 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan bahwa hak atas layanan perpustakaan bisa dinikmati semua orang tanpa ketimpangan.

Perpustakaan yang belum bisa menyediakan sesuai kebutuhan masyarakat seharusnya menaruh perhatian mahasiswa pustakawan. Sarana belajar sepanjang hayat dalam perpustakaan bukan sekedar perkumpulan informasi dan buku-buku belaka, lebih lanjut bagaimana mahasiswa mampu mengajak masyarakat untuk bertransformasikan sarana tersebut sebagai pusat sosial budaya.

Melalui humanistic approach, Karen Philip berpendapat diperlukannya perpustakaan menjadi tempat terbuka untuk siapapun; pustakawan yang baik dan penuh kasih mampu melanggengkan jalannya; perpustakaan relevan sesuai kebutuhan yang bebas dari asumsi yang terbentuk sebelumnya; membutuhkan lebih banyak mendengar; perlu mengubah akomodasi perpustakaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline