Keberadaan media konvensional mempengaruhi opini publik agar informasi-informasi di luar dapat diserap dan dipahami oleh masyarakat, tidak sekedar hanya kabar angin. Media yang berfungsi sebagai informasi, edukasi, hiburan dan social engineering lebih banyak memberitakan yang jauh dari kepentingan publik.
Ini dikarenakan iklim newsroom masih dipengaruhi oleh pemilik bisnis media. Pengaruh ini juga membuat arus informasi yang Jakarta-sentris, Ross Tapsell dalam buku Media Power In Indonesia (2017) mengungkapkan ada delapan (8) konglemerat yang memiliki bisnis media. Diataranya, Jakoeb Oetama, Aburizal Bakrie, Dahlan Iskan, Surya Paloh, Chairul Tanjung, Hary Tanoesoedibjo, Eddy Sariaatmadja dan James Riady, mereka dikenal dengan 8 raja media di Indonesia.
Meminjam data Remotivi dalam Melipat Indonesia Dalam Berita Televisi (2014), Daerah Asal Berita (DAB) berdasarkan frekuensi didominasi oleh Jabodetabek sebesar 41% dan untuk Non-Jabodetabek mencapai 45%, namun itu terbagi lagi kepada 32 provinsi. Kemandirian media dalam membungkus informasi seakan-akan informatif belaka yang khalayak umum sebenarnya butuh kelanjutannya dari peristiwa atau cerita-cerita dari suara yang jarang terpublikasikan.
Sebenarnya menulis cerita-cerita dari pinggiran merupakan kepentingan dari jurnalisme publik sendiri. Seorang jurnalis pasti memiliki bias ideologi atau keyakinan sendiri, tetapi tetap lagi-lagi publik harus diutamakan. Maka untuk itu, fungsi jurnalisme dari elemen kelima bertujuan agar jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan. Perlu diketahui dalam mencermati suatu isu, ada isu elit dan isu publik. Berita – berita elitis sering dimunculkan dan jauh dari urusan rakyat yang benar-benar harus dihadapi seharusnya. Informasi tentang rakyat patut diangkat agar para Elit tahu akan kondisi rakyat yang terdampak.
Mengapa Harus Menulis Dari Sudut Pandang Yang lemah?
Ibaratkan meliput isu tentang kesewang-wenangan hukum, sebagai penulis harus tahu bagaimana dan apa yang mesti dilakukan agar korban bisa dipahami oleh masyarakat luas. Kita juga harus cermat terhadap regulasi tentang hukum yang berkaitan. Stigma-stigma bagi korban selalu muncul dan menghujani pandangan yang berseliweran. Namun, tetap ada batasan-batasan kita mengamati dan menulis dari pihak yang lebih lemah.
Sebab, bisa saja menjerumuskan pada seorang penulis yang sok tahu dan berlagak penyelamat dari kehidupan seseorang. Kita harus tahu mengenai persoalan struktural-historis dari suatu peristiwa. Layaknya penggusuran, bisa dikatakan warga tidak memiliki sertifikat atas tanah, permasalahannya bagaimana tanah itu sebelumnya bertuan atau tidak, dihuni atau ditelantarkan, sudah masuk kategori daluarsa atau belum? Analisis terhadap aturan, mekanisme, prosesi dan sejarah perlu diketahui seorang penulis.
Terjebaknya penulis pada poverty porn akan kemasan yang sensasional, Melissa Anne mengatakan poverty porn mengemas siaran atau berita yang menceritakan kisah-kisah kelas bawah tanpa tahu persoalan skturtural yang dihadapi. Dengan menulis dari pinggiran tidak hanya menggunakan angle 5W+1H saja tetapi apa selanjutnya (what’s next?) dikemukakan.
Kerja-kerja jurnalistik seperti ini membutuhkan reportase komprehensif, outline, ketepatan diksi, pengadegan dan visualisasi. Pendekatan-pendekatan kelas juga diperlukan agar terdorongnya jurnalisme naratif. Dalam penulisan dari pinggiran mengubah perspektif kita bahwa prosedural peliputan terstruktur. Acap kali bisa menemukan siapa yang bersalah dan tidak, tapi tidak selalu menyalahkan pada yang berkuasa. Hanya dalam pelaksanaan ada yang tidak sesuai dengan hak-hak yang perlu dilindungi.
Hal penulisan ini agar kita yang memiliki suatu ideologi tertentu tidak kaku dan tertutup pada kekurangan yang dimiliki. Sekiranya menulis dari pinggiran menjadikan publik dan penulis sebagai pribadi yang humanis.
Sumber: Pemaparan Materi Dari Alfian Putra A, Jurnalis Project Multatuli dalam pendidikan Jurnalistik VI yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung, Sabtu, 5 November 2022.