Lihat ke Halaman Asli

Sirajuddin Gayo

Penulis dan praktisi pada Keuangan Daerah dan kebijakan publik Pemerintah

Koperasi di UU Cipta Kerja, "Sosial Bisnis" Tertimpa Durian Runtuh

Diperbarui: 7 Maret 2021   21:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

jadiberita.com

KOPERASI DI UU CIPTA KERJA, "SOSIAL BISNIS" TERTIMPA DURIAN RUNTUH

Oleh : Sirajuddin Gayo, S.T., M.M., MAPPI-T., COCFSC, CPCS.

Undang-undang Cipta Kerja yang merubah banyak hal pada berbagai perundang-undangan, telah turut merubah beberapa hal pada bentuk usaha perkoperasian. Untuk koperasi dan UKM, perlu dan patut disyukuri, karena berlakunya UU Cipta Kerja membuat Koperasi bak tertimpa durian runtuh.

Koperasi yang telah tumbuh di bangsa ini bersamaan dengan diproklamirkannya kemerdekaan bangsa ini, dan tumbuh berkembang hingga ke setiap sudut desa pada masa orde baru, setelah era post reformasi saat ini seperti mati suri. Koperasi Unit Desa yang dulu ada disetiap desa dengan bangunan yang paling megah di desa itu, kini bangunannya pun sudah tak terlihat, bahkan masyarakat milenial saat ini sudah lupa apa itu koperasi.

Setelah berlalunya kejayaan Orde Baru, Koperasi memang berkembang menuju kematiannya. Prinsip-prinsip pelaksanaan koperasi yang diatur pada UU 25 Tahun 1992 yang sempat hampir dirubah pada UU 17 Tahun 2012 namun dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena dinilai menciptakan kapitalis pada usaha perkoperasian, sesungguhnya menjadi salah satu sebab, membuat koperasi tidak terlalu diminati masyarakat untuk menjadi tempat berusaha mencari pendapatan.

UU 25/1992 membuat koperasi tidak menarik menjadi ladang usaha karena pemilik yang berjumlah terlalu banyak dan ketentuan penyertaan modal yang sama adalah hal-hal yang membuat berkoperasi tidak terlalu diminati masyarakat. Pemilik terlalu banyak memang menjadi fakta sejarah banyak pengurus koperasi yang menjadi terpidana dan tersangka karena seluruh pemilik memiliki hak sebagai pelapor. 

Kesalahan administrasi pun bisa menjadi urusan perdata dan pidana, memang begitulah Hukum dibangun dinegeri ini. Selain itu, dengan modal yang sama, tentu saja tidak menciptakan rasa kepemilikan dan kepedulian yang tinggi, pengurus yang memiliki modal yang sama dengan anggota, mendapatkan hak yang sama, namun urusan dan tanggung jawab berbeda, jadi jangan diharap ada rasa kepemilikan dan kepedulian yang tinggi, toh barang ini milik bersama, dengan hak yang diperoleh akan sama.

Kelemahan pada UU 25/1992 tersebut diberangus habis pada UU Cipta Kerja dan PP 7/2021 yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja tentang UKM dan Koperasi.

UU Cipta Kerja mensyaratkan jumlah pemilik koperasi dapat minimal 9 orang saja, sedangkan pada ketentuan sebelumnya wajib minimal 20 orang. Artinya dengan 9 orang, maka diharapkan konflik antar anggota tidak terlalu tinggi.
Memang ada suara negatif perihal jumlah pendiri yang hanya 9 orang, ya tentu saja, dengan 9 orang maka koperasi boleh jadi bukan lagi kepemilikan bersama, namun dimiliki oleh segelintir orang saja, dan sudah tidak ada bedanya dengan ketentuan bentuk usaha lainnya seperti PT.

Begitu juga dengan permodalan koperasi. Bila pada UU 25/1992 Simpanan Pokok wajib sama, pada UU Cipta Kerja, Koperasi tidak lagi mengenal Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib. Permodalan dapat diperoleh dari  hibah; penyetaraan simpanan anggota; dan/atau  sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Penyertaan simpanan anggota tidak lagi mengatur ketentuan jumlah modal yang harus sama.

Dengan ketentuan ini memang koperasi boleh jadi akan dikuasai kapitalis, karena penyertaan simpanan anggota yang tidak sama, tentu saja yang memiliki penyertaan yang lebih besar memiliki kesempatan yang lebih luas, ya tentu saja, tidak ada lagi bedanya dengan PT atau bentuk usaha lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline