Sahabat kompasiner yang seluruhnya penulis.
Kalau Anda menulis beberapa kali ke koran Jakarta dan nasional. Namun, tulisanmu ditolak terus. Berhentilah berlangganan koran yang agak “sombong” itu. Sekaligus, beralihlah ke koran daerah atau lokal. Abdul Hakim Siregar
Begitulah, gaya penulis underdog? Ketika pihak yang lemah, daif, dan tidak diunggulkan dalam segala hal, seluk-beluk menulis. Pada akhirnya, menjadi pemenang dan penulis tersohor?
Koran Jakarta atau Koran Nasional memiliki kriteria yang agak rumit, berat, dan muskil? Karena itu, beberapa orang beranggapan buktinya penulis mesti mampu menembus Koran Jakarta? Sombong kali, persepsi semacam itu? Seakan Anda, yang menulis di Koran daerah atau local, inferior, sedangkan mereka yang menulis di Koran Jakarta, superior?
Jurus “gila” atau “mabuk” gaya underdog dapat mengalahi dan mengangkangi mereka penulis di Jakarta? Jangan merasa minder dan inlander dari daerah menatap penulis Jakarta, kalian tak kalah kreativitasnya?
Kenapa Koran Daerah?
Sebagai penulis underdog, kita perlu menatap tulisan kita diterbitkan di koran? Biarpun koran daerah, lokal, buletin, bulanan, mingguan, atau harian. Tulisan terbit di Koran itu membuat penulisnya bahagia. Sekaligus, menatap hasil karya nyata tulisannya disebarluaskan. Perasaan bahagia menulis itu, khas dirasakan penulis sejati atau calon penulis sejati?
Mungkin, saat pertama menatap tulisan di Koran? Sampai membaca tulisan sendiri itu beberapa kali lagi. Korannya ditenteng. Atau difotokopi serta ditempelkan di tempat umum. Dibagikan di FB dan Twitter. Semacam kegirangan yang mendekati “riya” dan “takabur” tutur komentator sinis pembacanya?
Kalau gitu ma, saya juga bisa, tambahnya? Meskipun, sebetulnya tak kunjung terbukti?
Menatap, menempel tulisan terbit di Koran oleh penulisnya menjadi kegairahan khas yang dapat memantik api semangat menulis? Memang, ada yang bilang, “aku kalau menulis itu, mood-mood-an. Yah, kalau lagi enak hati, tulisan siap. Tapi, kalau lagi galau, tulisan tersendat kacau?”
Penulis lain menyanggah, “enggak ada namanya mood-mood-tan menulis, tulis saja kapan saja?” Tentu, tetap kadang ada rehatnya. Sebab, kalau tidak pasangan atau anak mengecam Anda sebagai penulis? Tapi, kadang kecaman pasangan pun dapat ilham tulisan?